Pemilihan Bupati-Wakil Bupati Lombok Timur dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB telah usai. Even politik itu tentu meninggalkan jejak-jejak persaingan dan pertarungan antar dua, tiga orang atau lebih kelompok ditengah masyarakat. Ada kampanye, ada manuver dan ada pertarungan pengaruh politik.
Dari even politik itu rakyat melihat dan mendengar, siapa yang bersaing dengan cara sehat. Siapa yang berpolitik secara santun. Siapa yang menarek simpati dengan cara menghujat pribadi dan siapa yang suka menyerang kelompok. Jejaknya masih tergambar dengan jelas dimata rakyat dan suaranya masih terang terdengar ditelinga rakyat.
Saya yakin rakyat sangat cerdas untuk membedakan siapa yang bertarung dengan ‘madu’ dan siapa yang menebar 'racun' untuk menaklukkan lawan. Rakyat juga tahu, siapa yang bermain 'judi' dengan cara memasang dua nomor layaknya sebuah perjudian. Mereka bermain di Pilgub dan Pilcaleg sekaligus. Mereka tidak mudah memenangkan pertarungan. Rakyat masih memiliki akal sehat dalam menilai cara berpolitik seperti itu.
Selain menyisakan jejak-jejak politik, even itu juga menyisakan ‘rasa senang-kecewa’. Senang kalau calon yang diusung menang. Kecewa kalau jagonya kalah. Tak aneh kalau perasaan senang bercampur kecewa bisa mempengaruhi selera makan seseorang. Itulah politik. Politik memang cara tepat untuk mengaduk-ngaduk emosi masyarakat.
Terlepas dari berbagai pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam proses Pelbup dan Pilgub yang lalu – even politik itu telah memberikan kesempatan bagi aktor-aktor politik di NTB untuk melakukan eksprimen politik sebelum memasuki pemilihan calon legislatif (Pilcaleg) tahun 2014 yang akan datang.
Even politik itu juga telah membantu mereka membuka dan menyajikan peta politik terbaru masyarakat NTB. Pelaksanaan Pilbup, Pilgub dengan Pilcaleg 2014 yang waktunya berdekatan membawa berkah bagi para politisi di NTB. Saya rasa itulah pelajaran politik tahun 2013.
Eksprimen Politik
Belajar ilmu politik sudah lazim dilakukan oleh banyak orang di bangku kuliah –khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol). Tapi belajar cara berpolitik - tempat yang paling tepat ya di tengah-tengah masyarakat. Di tengah masyarakat, kita bukan hanya bisa belajar melihat dan mendengar mengenai politik tapi bisa praktek langsung cara berpolitik.
Belajar politik akan makin sempurna manakala terlibat langsung dalam even-even politik seperti Pilbub atau Pilgub. Itu yang saya lihat pada Pilbup dan Pilgub yang lalu. Para tim sukses bukan saja bekerja untuk memenangkan calon bupati-wakil bupati atau calon gubernur-wakil gubernur yang mereka usung namun mereka sebenarnya belajar memenangkan dirinya sendiri.
Kelihatannya saja mereka sedang berjuang keras memenangkan calon yang mereka usung tapi mereka sebenarnya sedang bekerja ‘membuka jalan’ dan membangun pengaruh politiknya ditengah masyarakat untuk menghadapi Pilcaleg. Orang politik sangat paham dengan prinsip, ‘satu kerja dua laba’. Prinsip itu pun mereka pakai pada Pilbup dan Pilgub yang lalu.
Pada even politik itu mereka berkesempatan mengenal lebih jauh medan pertarungan yang akan mereka masuki. Jaringan politik dan networking yang terbentuk selama even politik itu berlangsung bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Di sinilah kecerdikan seorang politisi dibuktikan. Istilah lainnya, ‘menyelam sambil minum susu’.
Melalui Pilkada itu mereka berkesempatan melakukan pemupukan kepercayaan konstituen kepada mereka. Kalau proses ini berjalan baik lalu gayung bersambut dari masyarakat – maka kepercayaan masyarakat kepada mereka akan makin besar. Dan kepercayaan itu bisa ia pakai untuk mendulang suara sebagai tiket menjadi wakil rakyat.
Bila tahap pemupukan pengaruh ini gagal, berapa pun biaya telah mereka keluarkan tidak akan mempu meningkatkan pengaruh mereka ditengah masyarakat pemilih. Apa lagi pemilih sekarang terbukti makin kritis dan pragmatis. Kritis cirinya mereka tidak cukup dengan satu referensi atau sumber kebenaran untuk dipegang. Mereka selalu mencari pembanding terhadap apa yang ada didepannya.
Pemilih pragmatis – pemilih yang tidak puas diberikan imbalan berupa uang saja tapi mereka juga meminta ‘imbal politik’ yang lebih besar. Entah itu untuk kepentingan pribadi mereka atau untuk kepentingan kelompok (jamaah) mereka jangka panjang. Transaksi politik model ini bukan hanya dilakukan oleh kalangan politisi semata namun lumrah dipraktekkan oleh para tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Uniknya eksprimen politik itu tidak pernah membuat aktor-aktor politik yang kalah dalam Pilbup dan Pilgub yang lalu menjadi kapok. Malah mereka makin percaya diri untuk merebut kursi anggota DPRD, DPRI atau DPD RI di daerah pemilihan masing-masing. Kepercayaan diri mereka masuk akal manakala melihat perolehan suara yang mereka dapatkan ketika bertarung dalam Pilbup dan Pilgub yang lalu.
Faktor inilah mungkin yang membuat orang ‘kecanduan politik’- meski kalah dalam satu even politik tertentu mereka tidak mau jera. Dia malah mengatakan, “Kekalahan ini bukan halangan untuk menang”. Apa lagi sekarang peta suara kawan dan lawan sudah terbuka dengan jelas.
Bagi seorang politisi, Pilbup dan Pilgub yang lalu tidak lebih sebagai eksprimen politik jangka panjang. Meski membutuhkan tenaga dan dana yang cukup besar, eksprimen politik itu penting bagi mereka untuk melihat sejauhmana elektabilitas mereka ditengah masyarakat pemilih. Kalau pun mereka kalah pada Pilbup dan Pilgub yang lalu mereka tidak merasa kalah. Permainan belum selesai katanya.
Peta Politik Telah Terbuka
Selain membukakan jalan dan memberikan kesempatan untuk melakukan eksprimen politik, Pilbup atau Pilgub 2013 ini telah memberikan kalangan politisi sebuah peta politik terbaru masyarakat NTB. Dari hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) disetiap tingkatan, kita bisa melihat dimana saja basis-basis si A, si B, si C dan si D.
Dari sana terlihat siapa ‘penguasa’ dan siapa yang ‘dikuasai’. Bukankah penguasa dan orang yang dikuasai biasanya memiliki ikatan keluarga, ikatan kultural, ikatan politik termasuk ikatan agama yang telah terbangun sejak lama. Penguasa-penguasa itu lah yang sering mengarahkan kemana biduk politik akan berlabuh.
Selaku calon anggota legislatif (Caleg), kemampuan membaca peta politik itu penting. Apa lagi dalam setiap pencalekan, urusannya bukan saja bagaimana meyakinkan pemilih untuk memilih kita tapi bagaimana membangun kerjasama (networking) dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan politik berbeda untuk mendukung kita.
Peta (suara) politik yang sudah terbuka ini bisa menjadi kompas dan menunjuk arah dalam melangkah. Ibarat seorang pelancong, sebelum berangkat ia sudah mengetahui alamat dan jarak tempuh yang akan ia lalui. Kalau mereka menguasai peta daerah daerah ini, saya yakin kita tidak akan tersesat dalam mengambil keputusan politik.
Selain menjadi pemandu, peta politik juga berguna untuk memilih pemandu yang tepat ketika mendekati pemilih. Salah membaca peta politik dan tidak hati-hati memilih pemandu akan berpengaruh pada perolehan suara. Pada hal biaya politik yang sudah kita keluarkan cukup besar.
Siapa yang cerdas melakukan eksprimen politik dan bisa memanfaatkan peta politik itu dengan baik –dialah yang akan tampil menjadi pemenang pada tahun 2014 yang akan datang. Kita tunggu siapa yang paling cerdas mendekati rakyat NTB. Kalau prediksi politik tahun 2014 tentu pembaca lebih paham dari saya. Dan saya tunggu refleksi politik dari pembaca.
*Terbit di Harian Umum SUARA NTB, Senin, 10 Juni 2013
Dari even politik itu rakyat melihat dan mendengar, siapa yang bersaing dengan cara sehat. Siapa yang berpolitik secara santun. Siapa yang menarek simpati dengan cara menghujat pribadi dan siapa yang suka menyerang kelompok. Jejaknya masih tergambar dengan jelas dimata rakyat dan suaranya masih terang terdengar ditelinga rakyat.
Saya yakin rakyat sangat cerdas untuk membedakan siapa yang bertarung dengan ‘madu’ dan siapa yang menebar 'racun' untuk menaklukkan lawan. Rakyat juga tahu, siapa yang bermain 'judi' dengan cara memasang dua nomor layaknya sebuah perjudian. Mereka bermain di Pilgub dan Pilcaleg sekaligus. Mereka tidak mudah memenangkan pertarungan. Rakyat masih memiliki akal sehat dalam menilai cara berpolitik seperti itu.
Selain menyisakan jejak-jejak politik, even itu juga menyisakan ‘rasa senang-kecewa’. Senang kalau calon yang diusung menang. Kecewa kalau jagonya kalah. Tak aneh kalau perasaan senang bercampur kecewa bisa mempengaruhi selera makan seseorang. Itulah politik. Politik memang cara tepat untuk mengaduk-ngaduk emosi masyarakat.
Terlepas dari berbagai pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam proses Pelbup dan Pilgub yang lalu – even politik itu telah memberikan kesempatan bagi aktor-aktor politik di NTB untuk melakukan eksprimen politik sebelum memasuki pemilihan calon legislatif (Pilcaleg) tahun 2014 yang akan datang.
Even politik itu juga telah membantu mereka membuka dan menyajikan peta politik terbaru masyarakat NTB. Pelaksanaan Pilbup, Pilgub dengan Pilcaleg 2014 yang waktunya berdekatan membawa berkah bagi para politisi di NTB. Saya rasa itulah pelajaran politik tahun 2013.
Eksprimen Politik
Belajar ilmu politik sudah lazim dilakukan oleh banyak orang di bangku kuliah –khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol). Tapi belajar cara berpolitik - tempat yang paling tepat ya di tengah-tengah masyarakat. Di tengah masyarakat, kita bukan hanya bisa belajar melihat dan mendengar mengenai politik tapi bisa praktek langsung cara berpolitik.
Belajar politik akan makin sempurna manakala terlibat langsung dalam even-even politik seperti Pilbub atau Pilgub. Itu yang saya lihat pada Pilbup dan Pilgub yang lalu. Para tim sukses bukan saja bekerja untuk memenangkan calon bupati-wakil bupati atau calon gubernur-wakil gubernur yang mereka usung namun mereka sebenarnya belajar memenangkan dirinya sendiri.
Kelihatannya saja mereka sedang berjuang keras memenangkan calon yang mereka usung tapi mereka sebenarnya sedang bekerja ‘membuka jalan’ dan membangun pengaruh politiknya ditengah masyarakat untuk menghadapi Pilcaleg. Orang politik sangat paham dengan prinsip, ‘satu kerja dua laba’. Prinsip itu pun mereka pakai pada Pilbup dan Pilgub yang lalu.
Pada even politik itu mereka berkesempatan mengenal lebih jauh medan pertarungan yang akan mereka masuki. Jaringan politik dan networking yang terbentuk selama even politik itu berlangsung bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Di sinilah kecerdikan seorang politisi dibuktikan. Istilah lainnya, ‘menyelam sambil minum susu’.
Melalui Pilkada itu mereka berkesempatan melakukan pemupukan kepercayaan konstituen kepada mereka. Kalau proses ini berjalan baik lalu gayung bersambut dari masyarakat – maka kepercayaan masyarakat kepada mereka akan makin besar. Dan kepercayaan itu bisa ia pakai untuk mendulang suara sebagai tiket menjadi wakil rakyat.
Bila tahap pemupukan pengaruh ini gagal, berapa pun biaya telah mereka keluarkan tidak akan mempu meningkatkan pengaruh mereka ditengah masyarakat pemilih. Apa lagi pemilih sekarang terbukti makin kritis dan pragmatis. Kritis cirinya mereka tidak cukup dengan satu referensi atau sumber kebenaran untuk dipegang. Mereka selalu mencari pembanding terhadap apa yang ada didepannya.
Pemilih pragmatis – pemilih yang tidak puas diberikan imbalan berupa uang saja tapi mereka juga meminta ‘imbal politik’ yang lebih besar. Entah itu untuk kepentingan pribadi mereka atau untuk kepentingan kelompok (jamaah) mereka jangka panjang. Transaksi politik model ini bukan hanya dilakukan oleh kalangan politisi semata namun lumrah dipraktekkan oleh para tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Uniknya eksprimen politik itu tidak pernah membuat aktor-aktor politik yang kalah dalam Pilbup dan Pilgub yang lalu menjadi kapok. Malah mereka makin percaya diri untuk merebut kursi anggota DPRD, DPRI atau DPD RI di daerah pemilihan masing-masing. Kepercayaan diri mereka masuk akal manakala melihat perolehan suara yang mereka dapatkan ketika bertarung dalam Pilbup dan Pilgub yang lalu.
Faktor inilah mungkin yang membuat orang ‘kecanduan politik’- meski kalah dalam satu even politik tertentu mereka tidak mau jera. Dia malah mengatakan, “Kekalahan ini bukan halangan untuk menang”. Apa lagi sekarang peta suara kawan dan lawan sudah terbuka dengan jelas.
Bagi seorang politisi, Pilbup dan Pilgub yang lalu tidak lebih sebagai eksprimen politik jangka panjang. Meski membutuhkan tenaga dan dana yang cukup besar, eksprimen politik itu penting bagi mereka untuk melihat sejauhmana elektabilitas mereka ditengah masyarakat pemilih. Kalau pun mereka kalah pada Pilbup dan Pilgub yang lalu mereka tidak merasa kalah. Permainan belum selesai katanya.
Peta Politik Telah Terbuka
Selain membukakan jalan dan memberikan kesempatan untuk melakukan eksprimen politik, Pilbup atau Pilgub 2013 ini telah memberikan kalangan politisi sebuah peta politik terbaru masyarakat NTB. Dari hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) disetiap tingkatan, kita bisa melihat dimana saja basis-basis si A, si B, si C dan si D.
Dari sana terlihat siapa ‘penguasa’ dan siapa yang ‘dikuasai’. Bukankah penguasa dan orang yang dikuasai biasanya memiliki ikatan keluarga, ikatan kultural, ikatan politik termasuk ikatan agama yang telah terbangun sejak lama. Penguasa-penguasa itu lah yang sering mengarahkan kemana biduk politik akan berlabuh.
Selaku calon anggota legislatif (Caleg), kemampuan membaca peta politik itu penting. Apa lagi dalam setiap pencalekan, urusannya bukan saja bagaimana meyakinkan pemilih untuk memilih kita tapi bagaimana membangun kerjasama (networking) dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan politik berbeda untuk mendukung kita.
Peta (suara) politik yang sudah terbuka ini bisa menjadi kompas dan menunjuk arah dalam melangkah. Ibarat seorang pelancong, sebelum berangkat ia sudah mengetahui alamat dan jarak tempuh yang akan ia lalui. Kalau mereka menguasai peta daerah daerah ini, saya yakin kita tidak akan tersesat dalam mengambil keputusan politik.
Selain menjadi pemandu, peta politik juga berguna untuk memilih pemandu yang tepat ketika mendekati pemilih. Salah membaca peta politik dan tidak hati-hati memilih pemandu akan berpengaruh pada perolehan suara. Pada hal biaya politik yang sudah kita keluarkan cukup besar.
Siapa yang cerdas melakukan eksprimen politik dan bisa memanfaatkan peta politik itu dengan baik –dialah yang akan tampil menjadi pemenang pada tahun 2014 yang akan datang. Kita tunggu siapa yang paling cerdas mendekati rakyat NTB. Kalau prediksi politik tahun 2014 tentu pembaca lebih paham dari saya. Dan saya tunggu refleksi politik dari pembaca.
*Terbit di Harian Umum SUARA NTB, Senin, 10 Juni 2013
Saya merasa terlambat menemukan blog ini, apalagi klo bicara sesama orang Aikmel. Tulisan-tulisan bertema kedaerahannya bagus. Kunjungan perdana dan salam kenal, segera saya masukkan ke blogrol :)
BalasHapusTerima kasih wahyu telah berkenan berkunjung keblog saya, blog ini sy hajatkan untuk sharing informasi yg bermanfaat pd pembaca.
BalasHapus