Ilustrasi : https://bambuwulung.wordpress.com/ |
Terbit di Koran SUARA NTB, Kamis, (3/7) 2014
SEORANG teman Pegawai Negeri Sipil (PNS) menceritakan ketidaknyamanannya bekerja dilingkungan birokrasi tempatnya bekerja saat ini. Ketidaknyamanan itu bukan karena gaji yang kecil. Jam kerja yang sangat panjang. Beban kerja yang sangat besar. Tunjangan yang tidak memadai atau adanya tekanan atasan. Ia justru merasa tidak nyaman bekerja karena buruknya budaya birokrasi kabupaten tempatnya bekerja.
Baginya budaya kerja birokrasi ditempatnya bekerja bukan hanya lamban, boros, tidak kreatif tapi juga korup. Budaya kerja itu sangat berbeda jauh dengan budaya kerja yang berlaku dikalangan swasta yang sangat mengutamakan kecepatan, efisiensi, kreatif, inovatif dan tidak mentolerir tindakan korupsi. Pihak swasta sangat menyukai pegawai yang cepat, efisien, kreatif dan korupsi dalam bekerja.
Di satu sisi teman itu sangat menyukai budaya kerja yang mementingkan kecepatan, efisiensi, kreatif dan menghindari korupsi. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari kesenangannya membaca dan mengoleksi berbagai bacaan yang diniatkan untuk membangun budaya kerja produktif dalam dirinya. Saya yakin banyaknya buku bacaan yang menghiasi rumah terkait dengan good goverment bukan samata sebagai pajangan tapi menunjukkan sikapnya dalam bekerja.
Bukankah cara paling mudah untuk menilai seseorang dari apa yang dia sukai dan dengan siapa dia bergaul atau berteman. Orang baik pasti akan berteman dengan orang baik. Orang korup juga pasti bergaul dengan orang korup. Walaupun kadang ia bergaul dengan orang baik untuk menyembunyikan tindakannya yang sering melakukan korupsi. Rupanya budaya kerja birokrasi yang kita ketahui selama ini belum banyak berubah.
Ditengah suasana yang tidak nyamana itu, teman tadi mencoba mengumpulkan dan menjelaskan kepada beberapa orang dibirokrasi apa yang dianggap baik dan tidak baik berdasarkan aturan yang ada. Dia juga tidak segan mengkritik dan menolak apa yang dianggap menyalahgunakan aturan. Tindakannya itu pun tidak jarang disalahkan oleh atasan dan teman kerjanya yang lain. Ia pun makin hati-hati bertindak supaya tidak terjabak dalam permainan birokrasi yang budaya kerjanya buruk.
Dalam tulisan ini saya tertarek membahas budaya korupsi yang masih terjadi dilingkungan birokrasi. Salah satu bentuk korupsi yang masih membudaya adalah pemberian upeti berupa uang seorang PNS kepada PNS lain atau upeti seorang bawahan kepada atasannya yang berasal dari dana program yang mereka tangani. Ada upeti diberikan kepada pejabat atasannya sebelum program dilaksanakan atau dana program dipotong.
Kadang juga uang diserahkan setelah proyek dikerjakan. Artinya setoran diambil dari sisa dana program. Akibat dari tindakan ini sudah pasti akan menyebabkan palaksanaan program yang tidak maksimal. Spesipikasi program yang diusulkan otomatis akan mengalami penurunan secara kuwalitas karena dananya dikurangi. Hal ini lah yang menyebabkan buruknya hasil berbagai fasilitas umum yang dibangun dari proyek yang dananya berasal dari APBD dan APBN.
Upeti kepada pejabat daerah itu makin marak menjelang dilaksankannya pemilihan kepala daerah (Pilkada). Konon setiap dinas atau SKPD dikenai dana sekian ratus juta untuk membantu membiyai dana kampanye pejabat atau kepala daerah yang ingin menjabat kembali. Tentu dana sebesar itu akan sulit kalau dana itu berasal dari kantong pribadi. Tidak ada pilihan lain selain mengambil dari dana daerah.
Saya sendiri juga pernah mendegar cerita seorang bupati yang menawarkan seorang pejabat untuk menduduki posisi sebagai kepala Bappeda disebuah daerah di Lombok. Sang bupati sampai tiga kali mengatakan kepada pejabat tersebut bahwa dia berhak menjabat sebagai kepala Bappeda didaerahnnya. Alasannya ia sudah memenuhi berbagai persyaratan kepangkatan untuk menduduki jabatan tersebut. Disamping pejabat itu termasuk pejabat senior dan berpengalaman.
Sang pejabat yang akan dicalonkan itu bukan hanya dijanjikan tapi juga dipanggil secara khusus untuk membahas itu. Namun dalam proses itu, calon pejabat ini tidak peka akan sinyal-sinyal yang diberikan sang Bupati. Janji bupati itu sebenarnya sinyal supaya calon pejabat tersebut segera menyerahkan uang upeti terlebih dahulu bila ingin mendepatkan jabatan tersebut. Uang itu nanti akan diserahkan melalui orang kepercayaan bupati yang memang bertugas mengumpulkan dana upeti.
Saya tidak tahu apakah pejabat yang akan dipromosikan itu mengerti dan menangkap sinyal tersebut atau memang ia tidak memiliki uang sejumlah tertentu. Atau mungkin ia memang tidak berambisi menduduki jabatan yang diperoleh dengan cara menyerahkan upeti terlebih dahulu. Yang pasti, calon pejabat tersebut santai saja ketika itu dan menunggu saja posisi apa yang akan diberikan bupati kepadanya. Dan singkat cerita, sang pejabat akhirnya tidak ditunjuk sebagai Kepala Bappeda meski isunya akan mendapat posisi itu ramai diinternal birokrasi dan media massa.
Ilustrasi https://ksamsays.files.wordpress.com |
Selama ini lazim kita ketahui, sering kali pemberian upeti dilakukan oleh pihak swasta kepada pejabat yang memiliki kewenangan mengeluarkan kebijakan. Dengan mengeluarkan upeti tertentu yang disepakati, pihak swasta akan mendapatkan izin yang diperlukan untuk kepentingan usaha, mengelola lahan, membangun perumahan, menggali tambang atau mengelola proyek pembangunan yang berasal dari APBN dan APBD.
Pemberian upeti berupa uang oleh pihak swawsta kepada PNS atau pejabat negara inilah yang selama ini kita kenal dengan uang sogokan (rasuah) yang kerap tangkap tangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebut saja beberapa kasus yang pernah muncul di Nasional seperti kasus suap impor daging sapi yang melibatkan Ahmad Fatanah dan mantan Ketua PKS. Suap beberapa kepala daerah kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Muchtar, kasus suap pengelolaan hutan oleh swasta kepada Bupati Bogor, Rahmat Yasin dan masih banyak kasus-kasus lain.
Saya lalu berpikir, ternyata keinginan membangun pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good goverment) seperti yang diutamakan oleh kalangan swasta dianggap baru sebatas wacana. Baru sebatas pemoles citra ditingkat media. Pelaksanaan dan implementasi dari prinsip-prinsip tersebut masih nol besar. Pelatihan, training dan seminar terkait dengan itu ternyata belum membuahkan hasil. Tak heran kalau birokrasi bukannya menjadi pelayan bagi masyarakat tapi menjadi pelayanan birokrasi.
Supaya penyakit kronis birokrasi yang lamban, boros, tidak kreatif dan korup ini tidak berlanjut diperlukan revolusi mental birokrasi. Budaya kerja yang menekankan pada pelayanan kepada masyarakat bukan kepada atasan. Budaya dan kesadaran memberikan atau menerima upeti untuk mendapatkan posisi dan proyek tertentu harus segera diamputasi supaya tidak menular kemana-mana.Prinsip-prinsip pemerintahan yang baik harus ditegakkan secara konsisten untuk menutup peluang birokrasi melakukan tindakan korupsi.
Kepada teman itu saya mengatakan, ia ibarat lampu kecil ditengah lingkungan gelap. Sinarnya salalu ditutupi oleh pihak tertentu yang keburukannya tidak ingin terungkap oleh nyala lampu yang ia nyalakan. Saya lalu mengatakan kepadanya, bersiap-siaplah untuk menjadi birokrasi merangkap politisi bila ingin selamat dari angai badai yang bisa menerjang kapan saja agar nyala lampu itu padam. Dia juga perlu bekingan ‘orang kuat’ dibirokrasi supaya kehadirannya diperhitungkan oleh birokrasi yang masih senang menerima upeti. **
Pagutan, 30 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar