Tutik (Jilbab Warna Orene) dan Habibah |
Berbagi pengalaman menulis setingkat SD pernah saya lakukan di SDN 7 Aikmel 2011- dulu namanya SDN 6 Aikmel. Di sekolah ini saya dulu mengenyam pendidikan dasar. Disini saya juga merangsang peseta menulis dengan mengenalkan gaya menulis bebas (personal). Tapi yang selalu saya ingat dan sulit saya lupakan pada pelatihan sederhana yang diadakan oleh teman-teman Ikatan Pelajar Mahasiswa (IPM) Dasan Bagek ini adalah ketika ada seorang gadis tiba-tiba menangis saat saya minta membacakan hasil tulisannya didepan teman-temannya.
Kenapa harus menulis mimpi mereka ? Apakah memberikan tema itu bukan berati membatasi mereka pada hal katanya menulis menggunakan gaya bebas ? Ya, alasan saya karena setiap orang punya mimpi. Kalau tidak punya mimpi, itu namanya robot bukan manusia. Mimpi itulah yang membuat orang bergerak, berjuang dan bertarung dengan keterbatasan hidup. Wajar kalau orang mengatakan, mimpi adalah bahan bakar untuk mengubah kehidupan. Maka saya yakin, semua orang bisa menulis mimpinya dalam bentuk tulisan.
Menulis bebas yang saya maksud adalah menulis gaya personal. Menulis berdasarkan pengalaman, penglihatan, emosi atau buah imaginasi yang kita alami, dengar dan lihat.Ketika mulai menulis, sering kali seorang penulis memasukkan kata aku atau saya dalam tulisan-tulisannya. Dengan begitu, pembaca akan lebih yakin akan kebenaran tulisan tersebut karena dianggap pengalaman pribadi penulisnya.
Untuk itu seorang penulis sering menggunakan gaya bercerita atau bertutur dalam menyajikan tulisannya. Semakin sering ia menulis, maka semakin lihai ia bertutur atau bercerita dalam bentuk tulisan. Penulis juga akan lebih bebas dan lancar menuangkan pengalamannya karena bahan tulisannya berdasarkan pengalaman sendiri.
Tutik bersama teman-temanya dalam sebuah acara dikampusnya. |
Setelah saya menyampaikan penjelasan pentingnya menulis, lalu bagaimana menulis yang mudah dan menyenangkan dengan menulis gaya bebas, saya biasanya akan meminta peserta untuk praktek menulis bebas. Tapi sebelum itu, bagi yang tidak membawa leptop saya akan membagikan mereka kertas kosong tempat menulis. Tema umum yang saya minta mereka tulis biasanya, menulis mimpi mereka. Mimpi besar apa yang akan mereka kejar dan perjuangkan dalam hidup. Itu saya minta mereka tulis menggunakan gaya bebas, tanpa diedit karena waktunya saya batasi (terbatas).
Setelah semua temannya mengumpulkan dan membaca satu persatu tulisannya didepan, maka tinggallah Tuti Nursihah (Tutiq Masyhur). Ketika saya minta maju kedepan mambaca hasil tulisannya ternyata ia tidak mau, walau dirayu-rayu. Ia malah tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Kalau dibilang malu, kenapa mesti malu toh teman-temannya tadi yang maju usianya jauh lebih kecil dari dia. Ditanya kenapa menangis, tidak dijawab dan terus menangis. Pada hal kita dan teman-temannya ingin tahu apa yang sudah ditulis. Saya lalu meminta teman duduk disebelahnya untuk maju membacakan tulisanya.
Ketika temannya membacakan, ia masih menangis. Dalam tulisannya ia bercerita akan keinginannya untuk melanjutkan kuliah kebangku perguruan tinggi. Saat itu ia akan naik kekela dua SMA tapi orang tuannya tidak mendukung dia untuk bisa kuliah seperti temannya yang lain. Alasan oran tuannya karena tidak mampu membiayai. Apa lagi orang tuanya hanya petani kecil dan bekerja sebagai peternak. Mimpi dan keinginannya yang sangat besar untuk kuliah itulah yang ia tuangkan dalam bentuk tulisan.
Setelah acara sharing menulis itu saya tidak bertemu lagi dengannya walau saya berasal dari kampung yang sama dengannya. Itu karena selama ini saya bekerja di Mataram. Selang berapa tahun setelah kegiatan itu, saya tiba-tiba bertemu secara tidak sengaja dengannya disebuah kost-kosan cewek di Kekalek. Waktu itu saya mengantar seorang keluarga untuk menginap sementara dikost seorang mahasiswi yang satu kampung dengan saya.
Dari kamar kost tiba-tiba Tuti Nursyiah keluar. Saya dan dia pun akhirnya saling sapa. Saya agak kaget dan tak menyangka cewek yang dulu menangis tersedu-sedu didepan saya dan teman-temannya ketika diminta membaca tulisannya. “Ya kak, saya sekarang kuliah di FKIP UNRAM” katanya. “Itu kok pakai baju Pena Kampus” tanya saya masih heran. “Ya, saya juga masuk Pena Kampus, ingin bisa menulis seperti kakak” tambah gadis yang sudah ditinggal oleh bapaknya semenjak kelas 1 SMA ini.
Ia memang menggunakan kemeja lengan panjang warna hitam. Wajar kalau dilengan kanannya terdapat logo Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pena Kampus UNRAM. Bagi saya sendiri, LPM Pena Kampus UNRAM bukan sesuatu yang asing bagi saya. Saya dulu sering main, disksui, menghadiri acara termasuk pernah diundang untuk mengisi pelatihan menulis tingkat dasar bagi anggota baru Pena Kampus. Beberapa alumni Pena Kampus sampai sekarang masih menjadi kawan dan sahabat baik saya.
Saya senang, terharu bercampur bangga mengetahui gadis itu berhasil mewujudkan mimpinya bisa kuliah. Tempat kuliah pun bukan kampus main-main. Ia berhasil menjadi mahasiswa UNRAM yang mana tidak semua orang lolos test masuk kampus negeri itu. Ia Kini sudah duduk disemester 5 di Jurusan Bahasa dan Sastra, FKIP UNRAM melalui beasiswa Bidikmisi 2013. Saya sendiri dulu, pernah gagal test UMPTN UNRAM. Berkat beasiswa itu ia tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliah dan biaya hidup selama di Mataram.
Di atas motor Beat hitam yang saya pakai terbersit pikiran, ternyata tulisan dan air mata gadis mungil itu tidak sia-sia tertumpah dihadapan teman-temannya. Mungkin saja ada teman-temannya yang menganggapnya dia cengeng saat itu. Tapi Tuhan mendengar mimpinya (kan Tuhan memang Maha Mendengar). Dengan tulisan yang pendek itu ia berhasil merayu Tuhan untuk diberikan kesempatan kuliah. Tentu bukan semata karena tulisannya itu tapi ada usaha dan do’a yang membuka jalannya mendapatkan beasiswa untuk kuliah.
Kisah Tutik tentu belum lah selesai. Ia masih berjuang menggapai mimpinya-mimpinya yang lain. Namun cerita dan sharing menulis di SD dan kisah si Tutik mengajarkan kepada saya pelajaran baru bahwa mimpi yang ditulis itu ternyata kemungkinan untuk dikabul oleh Tuhan jauh lebih besar ketimbang yang tidak ditulis. Mimpi yang tidak pernah ditulis, hanya diam di kepala. Itu pun kadang kita ingat dan kadang tidak (ayo yang mana lebih dominan). Pengalaman serupa ternyata dialami oleh Tutik dan masih banyak yang lain.
Sejak itu setiap kali diminta berbagi pengalaman menulis dan waktunya memungkinkan, saya selalu bersedia. Munkin belum bisa berbagai harta atau pengaruh kepada orang lain, saya bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Kepada panitia saya mengatakan, saya mau mengisi kalau diminta berbagi pengalaman menulis bebas. Kalau ditawarkan tema yang lain, saya mengatakan kurang menguasai dan bisa jadi sangat teoritis. Pada hal menulis itu sebenarnya tidak butuh teori, hanya butuh banyak praktek dan pengalaman.[]
Komentar
Posting Komentar