Bagi saya selalu menarek mengulas dan membincang seorang tokoh. Apakah itu tentang kiprah, pikiran atau pola kepemimpinannya. Bagaimana pun pikiran atau kepemimpinannya seorang sering kali akan berpengaruh kepada masyarakat. Dan membincang tokoh itu bukan gosif yang tidak memiliki makna apa-apa. Hal itu malah sangat positif bagi masyarakat sehingga ia bisa melihat pemimpinnya dari berbagai macam sudut pandang. Demikian pula halnya dengan tuan guru bajang (TGB).
Hemat saya yang menonjol dari sosok TGB adalah kepemimpinannya bukan pemikirannya. Karena itu kita jarang mendegar gagasan dan pemikiran progresif TGB tentang satu masalah. Corak pemikirannya tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh lain. Namun sosoknya yang berangkat dari lingkungan darah biru Nahdlatul Wathan (NW), - pimpinan Ormas terbesar di NTB yang terjun kedunia politik –maka sosoknya menarik untuk diulas.
Selaku pimpinan umat dan pejabat publik, tuan TGB sudah menjadi ‘teks terbuka’. Ia bisa ditafsirkan oleh siapa saja dan dari sudut pandang mana saja. Pola kepemimpinan dan tindakan politiknya selalu akan menjadi bahan perbincangan bahkan sorotan publik. Itu misalnya bisa dilihat ketiga TGB pertama kali mencalonkan diri menjadi gubernur NTB dan sekrang terpilih menjadi ketua partai. Dan fenomena ini sangat wajar ditengah masyarakat yang masih fathrinial.
Bila TGB kita maknai sebagai sebagai teks, maka posisi masyarakat NTB sebagai mufassir (penafsir) dari kepemimpinan dan langkah politik TGB. Kalau secara akademik TGB telah menyandang doktor tafsir, maka publik juga seorang mufassir yang kemampuan tafsirnya tidak kalah dengan TGB. Apa lagi publik NTB berangkat dari berbagai disiplin keilmuan.
Siapa pun dia, selama posisinya sama seperti TGB, sosok dan tindakannya bisa dianalisis oleh publik. Entah mereka menggunakan kaca pembesar atau teropong. Kaca pembesar disini saya maknai sebagai orang-orang dekat, sedangkan teropong bisa dimaknai sebagai orang luar lingkaran. Termasuk apakah mereka menggunakan manhajul fikry (metode berpikir) yang benar atau tidak - bagi saya itu tidak menjadi masalah.
Maka akan lucu bila ada orang yang protes bila ada tafsir tentang TGB yang dianggap salah, lalu menganggap mereka sabagai lawan politik TGB. Dan di era demokrasi saat ini manafsirkan seorang tokoh adalah sah dan legal secara hukum. Selama itu bukan fitnah dan merusak citra seseorang dimata publik. Dalam konteks itu, sebelum menafsirkan TGB, setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan.
Pertama, TGB sebagai pimpinan umat (Ormas). Sudah tentu dibelakang TGB ada ribuan jamaah NW yang sangat fanatik kepada TGB. Ribuan jamaah itu bisa digerakkan untuk mensukseskan mimpi besar TGB. Dan lazimnya jamaah Ormas yang berbasis pesantren tumbuh tradisi samikna wa’atokna –sikap penurut tanpa kritik kepada tuan guru atau pimpinan pesantren. Inilah modal sosial yang dimiliki TGB yang tidak dimiliki tokoh lain.
Kedua, TGB selaku pejabat publik. Selaku pejabat publik, TGB tentu dipilih oleh publik. Di gaji dan diberikan fasilitas oleh publik. Untuk itu TGB sudah sangat hapal bahwa ia harus bertanggungjawab kepada publik secara luas, bukan kepada kelompok masyarakat tertentu saja. Konsekuwensi ini tentu sudah dipahami oleh semua pemimpin.
Bila program-programnya dirasa tidak sampai menyentuh hajat publik maka TGB sah dikritik. Termasuk mengevalusi program kerja dan pola kepemimpinannya. Apakah TGB dan kabinetnya sudah berjalan sesuai qoidah atau prinsip-prinisp pemerintahan yang baik dan benar. Bila belum publik boleh menuntut dan mengevalusi kinerja TGB bersama kabinetnya. Jadi selaku pejabat publik TGB membutuhkan kontrol, kritik dan koreksi dari masyarakat.
Ketiga, TGB sebagai ketua partai. Masyarakat tahu bahwa TGB baru saja terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Partai Demokrat (PD). Partai pemenang pemilu selama dua periode. Selaku ketua partai, semua tindakan TGB bisa dimaknai sebagai langkah politik untuk membesarkan PD dan NW oleh partai lain. Terpilihnya TGB sebagai ketua partai, menandakan TGB sebagai salah seorang politisi yang patut diperhitungkan di NTB.
Bila ingin melihat sosok TGB, tiga hal ini setidaknya bisa memandu kita untuk melihat sosok TGB dari luar. Dan ketiga hal itu patut didudukkan secara proporsional sehingga masyarakat bisa membedakan TGB bagai pemimpin Ormas, TGB sebagai pejabat publik dan TGB sebagai politisi. Bila tidak dipahami secara benar, saya khawatir kelompok masyarakat yang selama ini kritis terhadap program kerja TGB dianggap sebagai lawan yang tidak suka kapada TGB dan jamaah NW.
Dua Modal
TGB Makin PD bisa dimaknai sebagai TGB makin percaya diri (PD). Dengan ‘segudang prestasi’ pribadi yang dimiliki tentu secara psikologis menjadikan dirinya semakin percaya dengan kemampuannya sendiri dalam memimpin. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, seseorang tentu akan semakin semangat menggapakai keinginannya. Di tambah lagi dengan tingginya ekspektasi masyarakat kepada TGB agar bisa memperbaiki kondisi NTB.
Suara rakyat yang memilih TGB dalam Pilkada silam yang mencapai 60 persen adalah modal awal bagi TGB untuk memimpin 4,5 juta rakyat NTB. Demikian juga predikat doktor ahli tafsir yang disandang dari sebuah universitas Timur Tenggah dengan nilai summa comloud. Terakhir penghargaan sebuah media nasional yang memilih TGB sebagai salah seorang tokoh perubahan. Semua itu modal penting bagi TGB untuk menciptakan perubahan bagi masyarakat NTB.
Berikutnya, terpilihnya TGB menjadi ketua Partai Demokrat (PD). Itu artinya, posisi dan bargaining TGB secara politik semakin kuat. Meski banyak orang yang menilai TGB tidak memberikan pelajaran politik yang baik kepada masyarakat karena loncat partai. Pada hal dalam sejarah politik NW loncat partai itu bukan sesuatu yang baru namun telah juga dipraktekkan oleh pendiri NW Syekh Zainudin Abdul Majdid.
Hijrah politik ini mengingatkan NW yang selalu ganti-ganti partai setiap Pemilu.
Mulai dari Partai Masyumi, Golkar, PPP, PBB, PBR dan sekarang PD. Maka sebagian orang berpendapat, itu menunjukkan bahwa NW tidak bisa lepas dari politik. Politik sangat berperan membesarkan NW dan politik juga memiliki kontribusi memecah NW menjadi dua - Pancor dan Anjani. Meski dengan politik juga kedua NW itu coba di islah-kan namun akhirnya gagal juga.
Sebagian lagi ada yang menilai terpilihnya TGB menjadi ketua PD menunjukkan pragmatisnya politik NW yang tidak terlalu mempersoalakan ideologi dan warna bendera sebuah partai. Ini juga dipertegas oleh sejarah bahwa semua partai yang pernah dimasuki NW merupakan partai pemenang pemilu. Sebut saja Masyumi, Golkar, PPP, PBB dan PD. Cerita hijrah politik NW semakin panjang bila NW Anjani meninggalkan kendaraan lamanya PBR lalu bergabung dengan Gerindra.
Bergabungnya TGB ke PD bukan semata karena PD adalah partai pemenang dalam Pemilu. Namun peran jaringan alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) turut berperan memuluskan TGB masuk demokrat. Untuk itu bisa diperhatikan dalam kepengurusan PD NTB akan banyak diisi oleh figur-figur alumni HMI.
Kelompok inilah yang saya rasa berperan mendorong TGB terpilih menjadi ketua PD NTB dalam proses pemilihan yang sangat singkat. Lebih-lebih Anas Urbaningrum, ketua umum DPP.PD juga merupakan mantan ketua umum PB.HMI. Dalam konteks ini, peran alumni HMI dibirokrasi tidak bisa dilihat sebelah mata.
Dua modal sosial diatas tentunya sangat diharapkan publik untuk mampu mengeluarkan NTB dari status daerah tertinggal dan miskin. Untuk bisa keluar dari kondisi ini tentu tidak cukup dengan hanya mengandalkan modal sosial dan citra baik yang dimiliki seorang pemimpin. Demikian juga tidak cukup hanya mengandalkan kepercayaan diri saja namun harus dibarengi kerja keras semua pihak plus kemampuan pemimpin untuk menggerakkan sumberdaya manusia NTB.
Bagi saya apapun pilihan partai seorang tokoh–jangan sampai menurunkan kepercayaan dirinya untuk melakukan perubahan bagi daerah. TGB dengan plus minusnya sebagai pimpinan Ormas, selaku gubernur dan sebagai ketua partai tentu akan menyisakan pembelajaran politik bagi masyarakat NTB. Untuk itu masyarakat tidak boleh kehilangan daya kritis terhadap semua praktek pembangunan yang ada didaerah.
Saya percaya hanya melalui kritik, kontrol dan evalusi yang produktif seseorang tidak akan terlena dengan kekuasaan. Apa lagi TGB berangkat dengan citra yang baik, maka ia juga kita harapkan mengakhiri pemerintahannya dengan prestasi yang baik bagi masyarakat NTB. Dan masyarakat akan menanti buah ke-percayaan diri (PD) TGB atas ekspektasi masyarakat yang telah memilihnya menjadi gubernur NTB.**
Komentar
Posting Komentar