Beberapa anggota DPRD Lombok Barat diberitakan ‘sewot’
terhadap pola distribusi zakat di daerahnya. Mereka menilai, telah terjadi
politisasi dalam pendistribusian zakat di Lombok Barat. Pemerintah daerah
dianggap bertindak tidak adil dalam pembagian zakat karena hanya menyalurkan
zakat ditempat yang merupakan basis pendukungnya dalam Pilkada.
Kritik kalangan dewan tersebut ditanggapi
oleh bupati Lombok Barat melalui
media. Ia mengatakan kebijakan itu sangat wajar karena pihaknya diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk mengeksekusi dan mendistribusikan anggaran
kepada pihak yang mereka anggap pantas.
Baginya pembagian dana zakat bagian dari politik
anggaran. Tanpa politik anggaran sebuah pemerintahan tidak akan bisa berjalan
secara baik. Politik anggaran seperti itu wajar dan sah. Kalau ada pihak yang
mempersoalkan itu justru dinilai sebagai bentuk mencari popularitas politik.
Kalau
sinyalemen anggota dewan itu benar, tentu hal itu sangat disayangkan. Terlepas
dari motif dan kepentingan anggota dewan tersebut, kritik itu perlu diapresiasi dan di dukung
oleh masyarakat. Apa lagi undang-undang juga dengan sangat jelas memberikan
kewenangan untuk mengawasi penggunaan anggaran yang dipergunakan oleh kepala
daerah dan pembantunya-pembantunya.
Polemik antara Pemda Vs anggota dewan itu bisa dibaca oleh
masyarakat secara luas di media massa. Dengan begitu, masyarakat bisa menilai
mana pihak yang benar-benar membela kepentingan rakyat dan mana pihak yang
mengatasnamakan rakyat. Rakyat kini makin cerdas.
Hasil analisa dan pemantauan anggaran
dibeberapa daerah di NTB serta sharing pengalaman dengan daerah lain –fenomena korupsi
dana bantuan sosial (bansos) memang marak dimana-mana. Hal ini disebabkan oleh
watak dan kebijakan kepala daerah yang menggunakan keuangan daerah berdasarkan
kepentingan politiknya.
Hal serupa juga terjadi dalam pengelolaan
dana zakat saat ini. Kepala daerah menunjuk amil zakat yang berasal dari tim
suksesnya. Ketika melakukan
pendistribusian, zakat hanya dibagikan di tempat-tempat yang merupakan basis
pendukungnya dalam Pilkada. Tempat lain yang justru paling berhak mendapatkan
bantuan zakat malah diabaikan. Ini
artinya zakat dipergunakan sebagai balas jasa (barter) politik.
Politisasi
distribusi (tasarruf) zakat itu
biasnya banyak muncul ketika dan menjelang bulan ramadhan. Bulan inilah para
tokoh partai dan politisi berbondong-bondong menengok konstituennya. Kalau
datang tentu mereka harus membawa ‘buah tangan’ sekaligus menjadi tunjangan
hari raya (THR). Jumlah dana yang harus dikeluarkan tentu tidak sedikit, Untuk
itu mereka harus kreatif menggali dana public termasuk dari APBD.
Contoh yang paling dekat terjadi di Kabupaten
Lombok Timur pada masa kepemimpinan Ali Bin Dahlan. Ketika Ali BD menjabat
sebagai bupati, ia membuat peraturan daerah (Perda) tentang zakat. Dalam salah
satu pasal dalam Perda itu pegawai negeri sipil (PNS) diwajibkan mengeluarkan
2,5 persen dari gajinya setiap bulan untuk dimasukkan dalam zakat. Zakat inilah
yang disebut sebagai zakat propesi. Kewajiban mengeluarkan zakat ini yang
ditentang dengan aksi dan mogok mengajar oleh kalangan guru yang digerakkan oleh
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Lombok Timur.
Entah pihak mana yang dengan sengaja melakukan
politisasi isu zakat itu untuk kepentingan politik mereka. Tapi yang jelas
akibat penentangan dan aksi mogok itu citra dan popularitas Ali BD menjadi
menurun ditengah masyarakat. Pada hal kreativitas dan bukti pembangunannya tidak sedikit dirasakan oleh
masyarakat.
Dari kasus tersebut masyarakat bisa menilai dampak dari
politisasi zakat bukan hanya akan menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan
dari sebagian masyarakat. Tapi
juga dapat menghilangkan trust (kepercayaan) masyarakat kepada pihak yang diberikan kepercayaan sebagai
amil zakat.
Bila
trust masyarakat sudah hilang kepada pemerintahnya maka apapun program yang
akan dibuat tidak akan mendapatkan respon positif dari masyarakat. Dalam
konteks politik isu itu bisa dipergunakan sebagai senjata oleh lawan-lawan politiknya untuk
menyerang balek kepada si
pemegang jabatan.
Bukankah
syarat seorang amil harus jujur dan bisa berlaku adil dalam pendistribusian
zakat. Tidak lupa juga ia harus mampu mengelola dana zakat secara transparan,
adil dan akuntable layaknya prinsip-prinsip pengelolaan dana public. Bila
syarat itu tidak bisa dipenuhi, maka pengelolaan zakat bisa menjadi bibit fitnah
diantara pengurus atau masyarakat yang telah mengeluarkan zakatnya.
Kita
tahu zakat termasuk dalam rukun keempat dalam lima rukun Islam. Ini
membuktikan zakat dianggap sangat penting dalam Islam. Hukumnya wajib bagi orang yang
sudah memenuhi kriteria. Orang yang
mengeluarkan zakat akan diberikan derajat lebih tinggi oleh Allah SWT dari
orang yang tidak mengeluarkan zakat sebagai salah satu bentuk penghargaan.
Zakat bertujuan untuk mensucikan harta dari
sumber-sumber yang tidak halal
dan subhat. Zakat merupakan salah satu cara Islam dalam menekan angka
kemiskinan dan menghilangkan ketidakadilan social ditengah masyarakat. Inilah
spirit mulia dalam Islam untuk meningkatkan ibadah dan kesejahteraan
ummatnya.
Zakat tidak jauh beda dengan dana Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang kemudian diakumulasi dan didistribusikan menjadi
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Cara pengumpulan dan pendistribusian tidak berbeda. Zakat
dikumpulkan dari pemberi zakat (muzakki) kepada
petugas pengumpul zakat (amil) lalu
didistribuskan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahik).
Dalam
Al-Qur’an Allah SWT menegaskan orang yang berhak menerima zakat. “Sesungguhnya zakat-zakat ini, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk orang-orang yang
berhutang, untuk di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (At-Taubah:60). Merekalah yang dimasukkan golongan
8 asnaf.
Penggalian
dan pendistribusian PAD juga demikian. Dana dikumpulkan dari wajib pajak
kemudian dimasukkan kedalam APBD dan APBN yang kemudian dipergunakan untuk
menjalankan program pembangunan. Hasil pembanguan itu diharapkkan member
manfaatnya lebih kepada masyarakat yang telah mengeluarkan pajak.
Para
pelaku yang terbukti melakukan penyelewengan atu korupsi dana zakat bisa
dipidanakan secara hukum. Bahkan orang atau kelompok yang tidak memiliki
legalitas untuk mengumpulkan dana zakat bisa dipidanakan sebagaimana diatur
oleh undang-undang zakat.
Maka
pengawasan pendistribusian dana zakat tidak cukup hanya oleh anggota dewan,
media dan aktivis pemantau anggaran tapi juga perlu menjadi perhatian penegak
hukum. Bila
kasus-kasus penyalahgunaan dana zakat tidak banyak muncul bukan berarti
pengelolaan dana zakat sudah baik, bisa jadi aparat hokum belum banyak
menyentuh masalah tersebut.
Disclaimer
Terkait dengan pengelolaan anggaran, Lombok
Barat belakangan ini memang selalu menjadi sorotan berbagai pihak. Bukan saja
dari kalangan politisi di Giri Menang tapi juga oleh media massa dan lembaga
swadaya masyarakat. Tidak ketinggalan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Belum hilang dalam ingatan public tentang
korupsi dana bantuan sosial (Bansos) yang angkanya mencapai 2 milyar. Lalu ada
korupsi penjualan aset-aset daerah. Muncul lagi kasus 21 rekening bodong yang
terdapat dihampir semua dinas. Belum kelar kasus-kasus tersebut ditangani
aparat hukum, kini muncul lagi kritikan terhadap distribusi dana zakat.
Itulah mungkin yang menjadi salah satu
penyebab BPK menyematkan predikat disclaimer
kepada Lombok Barat dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Disclaimer ini diberikan karena hasil
audit BPK menemukan banyak potensi kebocoran dalam penggunaan anggaran
pembangunan yang berasal dari PAD dan APBN. Dan disclaimer merupakan nilai terendah yang diberikan BPK dalam
menilai penggunaan anggaran.
Kasus
seperti ini banyak muncul setelah otonomi daerah dimana daerah diberikan kewenangan
yang besar untuk mengelola keuangannya sendiri. Ini juga dampak dari biaya
politik yang sangat besar dalam
even-even politik. Di tambah lagi
control, monitoring dan asistensi anggaran dari pihak-pihak terkait sangat
lemah. Tak heran banyak pejabat public tersandung dengan kasus seperti ini. Ini lah potret umum pengelolaan
anggaran di Indonesia.
Namun
sekaranglah waktunya yang tepat untuk mendorong pendistribusian dana zakat, bansos, APBD dan APBN yang adil dan transparan. Kaum muslim yang baik akan sepakat - jangan sampai politisasi
zakat itu menghilangkan kesucian makna zakat. Pengelolaan dana public harus
berangkat dari niat yang mulia dan steril dari
kepentingan politik serta golongan. Ini
warning bagi kita
semua khususnya pihak terkait dalam mengelola
dana ummat.
Wallahu
a’lam Bissawab.
Komentar
Posting Komentar