Putus sekolah, kawin muda, punya anak, cerai, jadi TKI ke Malaysia –semua itu hal biasa dikampung saya. Tidak ada yang mempersoalkan itu, apa lagi yang menganggap itu sebagai masalah. Kalau ada yang mencoba-coba menganggap itu sebagai masalah, bisa-bisa dicap tidak waras. Sudah berani mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah.
Ketika menyebut sekolah yang terbayang dimata mereka adalah biaya. Biaya dan biaya. Pada hal masalahnya bukan semata biaya. Buktinya, banyak orang kaya –hidup berkecukupan ternyata tidak (bisa) sekolah. Bisa jadi, sekolah tidak menareknya baginya. Termasuk tidak ada kemauan untuk belajar.
Kalau ada, dia akan merasa rugi - tidak bisa memanfaatkan kekayaan orang tuanya yang berjuta-juta untuk sekolah sampai lantai paling tinggi. Itu artinya, sekolah itu tidak melulu menyangkut biaya. Ada juga yang namanya kemauan.
Kalau ada kemauan pasti ada tiket jalan. Alam juga bersabda, bila ada kemauan alam beserta isinya akan melapangkan jalan untuk meraihnya. Tuhan juga sudah berjanji dalam kitab suci, hambanya yang bersungguh-sungguhlah yang bisa mengubah takdirnya.
Kata mereka sekolah itu tidak bikin kaya. Sekolah juga tidak bisa membuat nasib jadi berubah. Kalau sudah keturunan miskin begini, ya seterusnya sampai keturunan berikunya akan miskin juga. Oh ya, memikirkah biaya memang perlu. Tapi jangan karena terlalu lama memikirkan biaya tidak jadi sekolah.
Tetangga saya sudah duduk dibangku kelas dua SMA. Sekarang dia berhenti dari sekolahnya untuk pergi ke Malaysia. Tujuannya satu, mencari rezeki yang melimpah. Bisa buat rumah, kawin dan seterusnya. Itulah sebagian impian anak muda dikampung saya.
Tetangga saya itu merasa Malaysia lebih menjanjikan ketimbang pergi kesekolah. Sekolah sudah membosankan. Guru-gurunya tidak menarek, suka marah dan tempramen. Singkatnya, tidak ada hal yang menarek disekolah. Maka ketika ada yang menawarkan biaya untuk meneruskan sekolah –ia tolak.
Orang yang menawarkan biaya itu tentu bukan semata kasihan kepadanya. Tapi ia sangat sadar pentingnya arti pendidikan bagi masa depan seseorang. Lagian tidak ada salahnya bekerja kalau sekolahnya selesai. Saya lupa rayuan negara jiran Malaysia lebih dahsyat.
Kita tahu, pergi ke Malaysia itu ‘panen’ keuntungan cepat. Kalau sekolah, hasilnya lama baru bisa dipetik. Itu pun harus bersaing dengan banyak orang untuk meraih pekerjaan yang kita inginkan. Tidak jarang orang yang tidak ‘kuat bersaing’ harus pilih ‘jalur nyogok’ untuk mendapatkan pekerjaan.
Tapi esensi sekolah itu bukan semata untuk meraih tiket mencari kerja. Sekolah atau belajar itu dihajatkan agar kita menjadi manusia terdidik secara moral dan intelektual. Tangguh dan kuat menghadapi masalah. Punya mental kemandirian dan kreatif dalam bekerja. Bukanh sekolah untuk menciptakan manusia-manusia pencetak uang.
Orang lebih tertarek ke Malaysia dari pada kesekolah juga disebabkan karena sekolah tidak bisa memberikan jaminan orang mendapatkan pekerjaan yang diimpikan selepas keluar dari sekolah. Ini terjadi karena minimnya lapangan kerja yang tersedia dinegeri ini. Pemerintah yang seharusnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat malah sibuk membuka proyek-proyek baru untuk mereka korupsi secara berjamaah.
Saat ini saya baru bisa prihatin. Belum bisa memberikan solusi dari masalah ini. Saya hanya baru bisa bersuara dan menulis. Belum bisa memberikan jalan keluar. Moga kepala desa, camat, bupati, gubernur, presiden bisa mendengarkan masalah ini. Itu pun kalau dianggap masalah oleh mereka. Kalau bukan masalah, saya yakin mereka hanya diam.
Ketika menyebut sekolah yang terbayang dimata mereka adalah biaya. Biaya dan biaya. Pada hal masalahnya bukan semata biaya. Buktinya, banyak orang kaya –hidup berkecukupan ternyata tidak (bisa) sekolah. Bisa jadi, sekolah tidak menareknya baginya. Termasuk tidak ada kemauan untuk belajar.
Kalau ada, dia akan merasa rugi - tidak bisa memanfaatkan kekayaan orang tuanya yang berjuta-juta untuk sekolah sampai lantai paling tinggi. Itu artinya, sekolah itu tidak melulu menyangkut biaya. Ada juga yang namanya kemauan.
Kalau ada kemauan pasti ada tiket jalan. Alam juga bersabda, bila ada kemauan alam beserta isinya akan melapangkan jalan untuk meraihnya. Tuhan juga sudah berjanji dalam kitab suci, hambanya yang bersungguh-sungguhlah yang bisa mengubah takdirnya.
Kata mereka sekolah itu tidak bikin kaya. Sekolah juga tidak bisa membuat nasib jadi berubah. Kalau sudah keturunan miskin begini, ya seterusnya sampai keturunan berikunya akan miskin juga. Oh ya, memikirkah biaya memang perlu. Tapi jangan karena terlalu lama memikirkan biaya tidak jadi sekolah.
Tetangga saya sudah duduk dibangku kelas dua SMA. Sekarang dia berhenti dari sekolahnya untuk pergi ke Malaysia. Tujuannya satu, mencari rezeki yang melimpah. Bisa buat rumah, kawin dan seterusnya. Itulah sebagian impian anak muda dikampung saya.
Tetangga saya itu merasa Malaysia lebih menjanjikan ketimbang pergi kesekolah. Sekolah sudah membosankan. Guru-gurunya tidak menarek, suka marah dan tempramen. Singkatnya, tidak ada hal yang menarek disekolah. Maka ketika ada yang menawarkan biaya untuk meneruskan sekolah –ia tolak.
Orang yang menawarkan biaya itu tentu bukan semata kasihan kepadanya. Tapi ia sangat sadar pentingnya arti pendidikan bagi masa depan seseorang. Lagian tidak ada salahnya bekerja kalau sekolahnya selesai. Saya lupa rayuan negara jiran Malaysia lebih dahsyat.
Kita tahu, pergi ke Malaysia itu ‘panen’ keuntungan cepat. Kalau sekolah, hasilnya lama baru bisa dipetik. Itu pun harus bersaing dengan banyak orang untuk meraih pekerjaan yang kita inginkan. Tidak jarang orang yang tidak ‘kuat bersaing’ harus pilih ‘jalur nyogok’ untuk mendapatkan pekerjaan.
Tapi esensi sekolah itu bukan semata untuk meraih tiket mencari kerja. Sekolah atau belajar itu dihajatkan agar kita menjadi manusia terdidik secara moral dan intelektual. Tangguh dan kuat menghadapi masalah. Punya mental kemandirian dan kreatif dalam bekerja. Bukanh sekolah untuk menciptakan manusia-manusia pencetak uang.
Orang lebih tertarek ke Malaysia dari pada kesekolah juga disebabkan karena sekolah tidak bisa memberikan jaminan orang mendapatkan pekerjaan yang diimpikan selepas keluar dari sekolah. Ini terjadi karena minimnya lapangan kerja yang tersedia dinegeri ini. Pemerintah yang seharusnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat malah sibuk membuka proyek-proyek baru untuk mereka korupsi secara berjamaah.
Saat ini saya baru bisa prihatin. Belum bisa memberikan solusi dari masalah ini. Saya hanya baru bisa bersuara dan menulis. Belum bisa memberikan jalan keluar. Moga kepala desa, camat, bupati, gubernur, presiden bisa mendengarkan masalah ini. Itu pun kalau dianggap masalah oleh mereka. Kalau bukan masalah, saya yakin mereka hanya diam.
Komentar
Posting Komentar