nortbird.wordpress.com |
Sebelum bertemu, dia minta waktu untuk wawancara terkait sering munculnya konflik-konflik keyakinan keagamaan di NTB. Mulai dari kasus yang menimpa Jamaah Ahmadiyah, Jamaah Salafi dan Jamaah Syi’ah di Lombok. Itu dia masalah lain yang terjadi di Lombok yang sering masuk media dan sering ditanyakan oleh orang luar.
Setelah bertemu, ya saya ceritakan apa yang saya ketahui, pantau dan analisa selama ini terutama konflik-konflik yang berlatar keyakinan keagamaan di NTB. Saya tidak tahu, siapa yang merekomendasikan nama saya di Jakarta sehingga dia menghubungi dan menemui saya untuk wawancara.
Kedatangan wartawan Gatra ini bersamaan waktunya dengan kunjungan anggota Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi ke Lombok. Mereka ingin mengetahui dan mendalami kekerasan yang dialami oleh Ahmadiyah dan Salafi di Lombok Barat dan Loteng.
Hasil pemantauan sementara mereka kemudian diungkapan di depan para wartawan di kantor perwakilan Ombusmen NTB yang kebetulan bosnya Adhar Hakim, mantan wartawan SCTV NTB. Hasil pemantauan dan kajian itu akan mereka bawa menghadap presiden dan anggota DPR.
Wartawan kedua berasal dari majalah mingguan Tempo. Usianya masih sangat muda. Malah mungkin usia saya lebih tua dari dia. Orangnya berkulit putih dan ganteng. Namanya Wayan -mungkin dia berasal dari pulau tetangga, Bali. Dia datang bersama potografernya yang berambut gondrong.
http://tempo.co.id/hg/stokfoto/2005 |
Dia cerita, nomor saya diberikan oleh Achmad Suaedy, seorang peneliti senior yang telah meneliti gerakan Islam dibeberapa negara wilayah Asia Tenggara. Kini ia menjabat direktur Abdurrahman Wahid Centre (AWC) Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Selain itu juga terlibat dalam pendirian Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Yogyakarta dan The Wahid Institut (WI) Jakarta.
Setelah bertemu disebuah hotel di Mataram, wartawan Tempo itu mengungkapkan keinginannya untuk menulis seorang tuan guru muda di Lombok. Saya lalu dimintai pendapat mengenai sepak terjang dan kiprah tuan guru tersebut khususnya mengenai perannya dalam mendorong toleransi beragama di Lombok.
Tanpa bermaksud apa-apa dan tanpa ada kepentingan tertentu, saya jelaskan bahwa tuan guru yang dimaksud dulu memang suka dan mau terlibat dalam diskusi dan dialog antar agama di Lombok. Awal keterlibatannya juga karena peran teman-teman LSM, akademisi dan pengamat di Mataram. Sejak itu nama dan popularitasnya mulai terangkat dipublik. Singkat kata, dia pun sering diundang oleh berbagai kalangan termasuk pejabat daerah, kalangan aktivis mahasiswa, LSM lokal dan nasional.
Sayang setelah popularitasnya terangkat, kalangan LSM di Mataram mulai melihat sikapnya berubah. Mulai dari agak sulit dimintai kesediaan menjadi pembicara dengan berbagai alasan termasuk jadwal full. Kalau birokrasi yang mengundang, dia terlihat selalu hadir seolah-olah dia ada waktu. Dan ada perubahan-perubahan lain yang saya rasa tidak perlu saya ceritakan disini.
Itulah penilaian saya terhadap tokoh tersebut. Karena itu pendapat pribadi, maka saya minta supaya tidak ditulis. Dalam bahasa medianya disebut off the record. Walau begitu saya tetap menghormati dan mempersilahkan wartawan itu untuk menulis tokoh tersebut jika dianggap layak menjadi tokoh pejuang toleransi keagamaan di NTB.
Saya juga bilang sama dia, bahwa sesungguhnya saya merasa senang ada orang lokal apa lagi dari kalangan pesantren dimana saya pernah mengenyam pendidikan diangkat sosoknya menjadi pejuang toleransi oleh media nasional sekelas Tempo. Namun kalau orang tersebut dijadikan seolah-olah pahlawan oleh media dalam kenyataan tidak, kan ceritanya akan lain. Nanti kita lihat, apakah tokoh kita itu jadi dinaikkan profil di majalah Tempo.
Dan terkait dengan kedatangan dua orang wartawan itu, saya melihat selama ini banyak wartawan dan peneliti dari luar tertmasuk media luar negeri yang tertarek meliput dan menulis tentang kasus-kasus keagamaan yang terjadi di NTB. Sementara wartawan dan peneliti asal NTB sendiri sangat sedikit yang tertarek menulis.
Akhirnya saya memiliki persepsi entah benar atau salah, banyak wartawan lokal seperti menghindari untuk menulis isu tersebut secara mendalam khususnya bagaimana kebijakan pemerintah dalam konflik keagamaan. Apakah disebabkan karena mereka sudah bosan menulisnya atau mungkin dianggap sudah tidak memiliki nilai berita untuk ditulis. Kalaupun ada yang menulis, lebih kepada peristiwa saja bukan apa dan bagaimana kasus itu terjadi berulang-ulang.
Apapun alasannya, yang jelas kita mesti jujur dan terbuka terhadap apa yang terjadi didaerah kita, termasuk tingginya intensitas konflik keyakinan keagamaan di NTB. Pada hal dimana-mana kita sering mengatakan bahwa orang NTB itu taat beragama dan religius namun dalam prakteknya perbedaan paham keagamaan malah menjadi alasan kita untuk saling menyalahkan dan memusuhi.
Saya berharap moga, kejadian-kejadian seperti itu tidak terjadi lagi didaerah ini. Cukuplah itu bagian masa lalu yang bisa menjadi pelajaran bagi kita bahwa mempersoalkan keyakinan keagamaan orang lain sebagai tindakan sia-sia dan tidak produktif. Dan orang-orang yang suka memainkan isu-isu agama untuk kepentingan yang tidak jelas, disadarkan oleh Tuhan.
Terus kalau menurut anda, siapa kira-kira tokoh yang pantas mewakili NTB menjadi tokoh perjuang toleransi di NTB ?
Komentar
Posting Komentar