Langsung ke konten utama

Jejak Rekam Saya Dalam Buku (2)

buku,riset,konflik,agama,indonesia,wahabi,salafi,lombok

KETIGA, Agama dan Pergeseran Representasi : Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia (September 2009)-Seri Agama Dan Konflik 2. Dalam buku ini saya menyumbang tulisan dengan judul Mengurai Konflik Sunnah Vs Bid’ah Di Pulau Seribu Masjid. Buku kedua ini juga diterbitkan secara keroyokan dengan 13 orang penulis dari berbagai daerah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan NTB. Sebagaimana judulnya, buku ini secara mendalam mengulas berbagai konflik keagamaan di Indonesia. Umumnya konflik itu yang menjadi korbannya kelompok minoritas. Ada yang disesatkan, dilarang melakukan ibadah dan sebagian lagi konflik pendirian tempat ibadah intern dan antar umat beragama.

KEEMPAT, SBY, TGB dan BM : Esai-Esai Reflektif Dari dan Tentang NTB (Januari 2011). Inilah buku pertama yang saya tulis sendiri dan tertera nama saya dicover buku. Tidak jauh beda dengan buku sebelumnya, buku ini berisi kumpulan artikel saya yang telah terbit diberbagai media lokal di Mataram dalam beberapa tahun sebelumnya. Setelah dikumpulkan dan dikelompokkan ternyata berbagai artikel itu punya benang merah dengan tema sosial politik yang terjadi di NTB. Saat itu penguasa NTB adalah Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi dan Badrul Munir (BM).

Saya mendapatkan pengalaman yang menyenangkan plus kurang menyenangkann dalam proses penerbitan buku SBY, TGB dan BM. Yang menyenangkan saya menerbitkan buku itu tidak mengeluarkan dana sepersen pun. Buku itu dicetakkan oleh Bappeda NTB sebanyak 1000 eksemplar. Dari 1000 eks, sebagian saya bagi-bagi dengan teman-teman dan keluarga sebagian laku terjual. Dalam penerbitan buku ini saya banyak dibantu oleh sahabat saya Farid Tolomundu.

buku,sby,tgb zainul majdi,badrul munir,ntb,esai,kritis

Termasuk di dalamnya saya jadikan sebagai kado pernikahan saya kepada sahabat dan keluarga yang datang menghadiri resepsi pernikahan saya. Oleh keluarga dan sahabat yang hadir dianggap sebagai kado pernikahan yang beda dari biasanya. Sebagian hasil penjualan buku itu juga saya pakai mengontrak rumah di Mataram. Inilah beberapa pengalaman menyenangkan dalam menerbitkan buku SBY, TGB dan BM.

Yang kurang menyenangkan, buku SBY, TGB dan BM terpilih sebagai salah satu yang akan diterbitkan oleh Bappeda NTB. Tim seleksi yang berasal dari berbagai unsur profesi lalu memilih 10 naskah buku yang semuanya berasal dari penulis NTB. Janji panitia, masing-masing buku yang terpilih akan dicetakkan 1000 eksemplar dan penulisnya akan mendapatkan royalty masing-masing 10 juta dari Bappeda NTB.

Konon penerbitan buku tersebut bertujuan untuk memotivasi para penulis asal NTB supaya lebih giat menulis tentang daerahnya. Toh biaya penerbitan buku itu tidak memakai dana APBD tapi berasal dari dana sponsor swasta. Ide itu pun disambut antusias oleh para penulis muda di NTB. Gagasan itu bahkan dianggap sebuah gagasan cemerlang untuk mendorong lahirnya penulis-penulis muda berbakat dari daerah.

Sayang tidak semua janji ditepati oleh panitia. Hasil seleksi panitia memang tetap dipakai tapi Bappeda tetap menerina naskah dari penulis lain pada hal tim seleksi sudah tidak menerima naskah lagi. Proses penerbitan juga sangat lama, hampir satu tahun lamanya naskah para penulis ‘menggantung’ di Bappeda. Sampai ada beberapa penulis yang mencetakkan sendiri naskahnya karena tidak tahan menunggu. Setelah itu jumlah buku yang akan dicetakkan pun tiba-tiba membengkak menjadi 30 lebih naskah yang 20-an lebih masuk tanpa proses seleksi. Dampaknya, janji memberikan royalti kepada penulis tidak ditepati.

Setelah saya teliti dengan beberapa teman ternyata proyek itu memang tidak ditangani secara profesional. Penanganannya pun diberikan kepada orang yang tidak mengerti proses penerbitan buku dan ditangani oleh pihak yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat di Bappeda saat itu. Wajar kalau hasil cetakan buku teman-teman yang diurus oleh mereka cetakannya sangat buruk. Syukur cetakkan buku saya berhasil kita ambil alih. Pada hal infonya biaya proyek penerbitan buku tersebut semuanya mencapai ratusan juta rupiah. Dari pengalaman itu saya mencium sesuatu yang tidak beres dalam proses tersebut.

KELIMA, Agama dan Kontestasi Ruang Publik : Islamisme, Konflik dan Demokrasi. Dalam buku ini saya menulis tentang Vihara Budha Yang Tidak Lagi Jaya, Studi Kasus Vihara Jaya Wijaya, Dusun. Tebango, Kec.Pemenang Timur, Kabupaten Lombok Utara (KLU), terbit September 2011. Tulisan itu saya himpun dari berbagai data dan hasil wawancara dari tokoh yang mengelola vihara tersebut. Penerbitan buku ini dibiayai oleh The Wahid Institute (WI) Jakarta.

buku,riset,agama,kontestasi,ruangpublik,islam,demokrasi,vihara,budha,konflik,lombok

Sejak mengumpulkan bahan penulisan buku itu saya sadar ternyata konflik pendirian tempat ibadah itu bukan saja terjadi antar umat beragama tapi juga kerap terjadi diinternal umat agama yang nota bene-nya satu agama dan keyakinan-seperti yang terjadi didusun tebango tersebut. Kasus tersebut tidak berdiri sendiri, tidak muncul sekonyong-konyong, kasus itu dampak dari perpecahan internal organisasi umat Budha ditingkat nasional. Pelajaran yang saya petik, pertikaian elit agama di Jakarta berdampak nyata kepada umat yang tinggal dipelosok kampung yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa.

Demikian rekam jejak saya dibeberapa buku yang telah terbit. Saya berharap kedepan jejak-jejak baru akan terekam pada buku-buku lain yang bisa menjangkau pembaca lebih banyak dan lebih luas lagi.

Pelita, 15 Desember 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kejadian Mestakung Yang Saya Alami

Taman Bunga, Sembalun, Lombok Timur Bagi sebagian orang, apa yang saya alami ini mungkin hal biasa. Lumrah terjadi, sering kita alami dan pernah dialami oleh banyak orang. Saking biasanya, kita tidak tahu bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Kita menganggapnya itu kebetulan. Sedang beruntung saja. Pada hal itu bisa dijelaskan secara ilmiah bagaimana Mestakung bekerja. Belakangan saya baru sadar, ternyata banyak kejadian dalam hidup kita bagian dari Mestakung. Beberapa waktu yang lalu saya jatuh sakit sekitar dua bulan lebih. Badan saya lemas, was-was dan tidak konsentrasi. Setelah itu tiba-tiba badan, pinggang, lutut dan pergelangan tangan ikut-ikutan sakit. Sampai ngilu-ngilu. Selera makan jadi tiba-tiba hilang. Beberapa obat tradisional sudah saya coba tapi hasilnya tidak menunjukkan perubahan. Saya pun memutuskan untuk berobat disebuah rumah sakit swasta di Mataram. Siangnya saya minta kepada adek ipar yang bekerja dirumah sakit tersebut untuk mendaftarkan kedokter bagian da

Buah Bile

Penulis bersama seorang teman dengan latar buah bile dihalaman Hotel Mina Tanjung, Lombok Utara. SUDAH lama tidak melihat pohon bile yang berbuah lebat dan besar. Sekarang pohonnya mulai langka, apa lagi yang berbuah besar seperti ini. Bersyukur bisa melihat lagi pohon ini di Mina Tanjung Hotel, KLU. Buah (buaq, Sasak) pohon ini sering kita pakai bermain dulu waktu kecil dikebun dan disawah. Kadang kita tendang-tendang seperti bola. Pohonnya sering kita pakai membuat gasing. Kalau musim gasing, kita sering keliling sawah dan kebun untuk mencari pohon bile yang ukurannya pas untuk membuat gasing. Kita sampai nekad mencuri pohon milik orang yang tumbuh jadi pagar sawah atau kebun orang demi mendapatkan bahan untuk membuat gasing yang bagus. Pohon atau rantingnya bagus jadi bahan membuat gasing karena seratnya bagus dan tidak ada 'hati' seperti pohon yang lain. Di kampung saya Lombok Timur belum pernah saya lihat atau dengar orang memakan buah bile. Tapi didaerah lain di Lomb

Legit dan Gurih Pelemeng Campur Poteng

Pelemeng dan Poteng, pasangan serasi untuk disantap bersamaan dikala silaturrahmi hari Lebaran SETIAP kampung di Lombok punya jajan khas yang dibuat khusus menjelang Hari Raya Idul Fitri. Di Desa Aikmel, Lombok Timur misalnya – beberapa hari menjelang lebaran, kaum ibu sudah sibuk menyiapkan beraneka jenis makanan dan jajan yang akan disajikan pada hari istimewa. Di antara jajan yang selalu ada disebut Pelemeng dan Poteng. Bila datang bersilaturrahmi kewarga - Pelemeng dan Poteng yang terdepan untuk disuguhkan. Pelemeng yang terbuat dari ketan rasanya gurih dan kenyal sedangkan Poteng terasa manis dan berair. Saat dimakan, akan bertemu rasa gurih dan manis dimulut. Dua jenis jajan tradisional masyarakat Sasak ini cukup mengenyangkan kalau dimakan.   Pelemeng terbuat dari ketan yang dibungkus dengan daun pisang. Membuat Pelemeng, daun pisang yang dipakai sengaja dipilih yang ukuran diameternya besar dan panjang. Daun pisang dijemur terlebih dahulu sebelum dibentuk supaya ti