TAHUN 2006 silam saya diundang oleh teman-teman jaringan untuk menghadiri sebuah acara di Yogyakarta. Kegiatan itu dihadiri oleh puluhan peserta dari Sulawesi, Kalimantan, NTB dan dari Jawa sendiri. Di sela-sela acara, tiba-tiba saya ditanya oleh seorang peserta dari Jawa.“Bagaimana kabar gizi buruknya ? Saya kaget dan tidak bisa memberikan jawaban yang memadai.
Saat itu gizi buruk, istilah lainnya mal nutrisi atau busung lapar sedang ‘mengamuk’ di daerah ini. Satu persatu korban gizi buruk berjatuhan. Di Lombok Timur dan Lombok Barat terdapat ratusan balita penderita gizi buruk. Itu belum termasuk yang meninggal dunia karena penanganannya terlambat.
Kasus itu lalu menjadi headline media lokal dan nasional. Isu itu kemudian mengundang simpati serta bantuan dari berbagai kalangan. Oleh Menteri Kesehatan RI saat itu kemudian dikategorikan sebagai kajadian luar biasa yang perlu penanganan serius dan terus menerus. Kini di usia NTB sudah setengah abad lebih, gizi buruk masih belum beranjak dari daerah ini. Apakah gizi buruk telah menggurita di daerah ini?.
“Juara Bertahan”
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Kabupaten Lombok Timur masih menjadi “juara bertahan” gizi buruk di NTB. Asisten III Bidang Administrasi Sekretariat Daerah Lombok Timur (Lotim), Drs. H.Mohzana, bahkan mengungkapkan kasus gizi buruk di Lotim hingga Januari 2011 mencapai 330 orang dengan rincian 130 balita gizi buruk dan 200 balita gizi kurang.
Kepala Dinas Kesehatan Lotim, dr.H Endro Pranoto malah mengatakan jumlah kasus gizi buruk jauh lebih besar. "Kami memperkirakan jumlah warga yang terindikasi terkena gizi buruk mencapai 3.000 orang," katanya. Ia juga menyebutkan lembaga yang dipimpinnya sedang menampung 113 penyandang gizi buruk, 10 orang diantaranya ditampung di RSUD Selong, 2 orang meninggal dunia dan 8 orang lainnya kabur dari penampungan Asrama Haji Selong.
Coba kita tengok ke belakang, berdasarkan operasi timbang - penderita gizi buruk di Lotim pada tahun 2005 sebanyak (1534 orang), 2006 (1240 orang), 2007 (584 orang) dan 2008 (401 orang). Untuk tahun 2009 hingga Februari 2010 terdapat sekitar 40 lebih penderita gizi buruk. “Jumlah penderitanya jauh lebih banyak dibandingkan yang terlihat dipermukaan” kata HM.Sukiman Azmi, Bupati Lombok Timur beberapa waktu lalu.
Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Lombok Utara (KLU), dimana dalam 20 hari 6 orang bayi meninggal di desa Pemenang Barat, Kec. Pemenang. Kasusnya terjadi dari tanggal 1 sampai 20 Januari 2011. Sebagian besar bayi yang meninggal itu pernah dirawat di Puskesmas. “Program AKINO yang katanya untuk nol kematian ibu dan anak saat melahirkan hanya ada dalam baliho dan spanduk” kata Kepala Desa Pemenang Barat, Juylada seperti ditulis sebuah media lokal (24/1). Pernyataan ini menggambarkan program pelayanan kesehatan dasar baru pada tahap kampanye dan sosialisasi.
Seperti dilansir media nasional beberapa waktu lalu, tahun 2009 terdapat 926 kasus penderita gizi buruk di NTB, 41 anak balita di antaranya meninggal dunia. Korban yang meninggal terbanyak terjadi di Lotim (11 orang), disusul Lobar (9 orang), Loteng (8 orang), Bima (6 orang), Dompu (4 orang), KLU (2 orang) dan Mataram (1 orang). Bila di tingkat provinsi, Lotim masih menjadi “juara bertahan”, maka bisa jadi NTB juga menjadi ‘juara gizi buruk’ secara Nasional.
Pertanyaannya, kenapa kasus ini kembali terjadi? Menurut saya salah satu adalah program pengentasan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan murah tidak menyentuhkan mayarakat paling bawah. Ini juga menunjukkan buruknya pelayanan bidang kesehatan sehingga berdampak sistemik dari pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin.
APBD yang harusnya untuk pemberdayaan ekonomi sebagian besar tersedot untuk belanja birokrasi yang semakin gemuk. Termasuk juga akibat dugaan korupsi berjamaah yang dilakukan oleh oknum-oknum pengambil kebijakan. Inilah beberapa faktor yang meyebabkan kenapa gizi buruk telah menggurita di daerah ini.
"Ironis memang, di tengah daerah yang kaya dan subur ini masih tumbuh wabah gizi buruk tanpa pernah bisa dihentikan. Uniknya kita sering mengklaim diri sebagai daerah lumbung pangan nasional. Mampu menciptakan ribuan pengusaha baru. Berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi NTB sampai 13 persen. Konon ini angka pertumbuhan terbesar kedua secara Nasional".
Apa orang tidak akan bertanya balik, bagaimana caranya meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 13 persen di tengah tingginya angka kemiskinan dan gizi buruk? Apakah ini prestasi yang cukup membanggakan? Lalu bagaimana cara kita bangga menjadi warga NTB dalam kondisi seperti ini.
Sayang di tengah berbagai keprihatinan yang menghimpit rakyat para kepala daerah malah sibuk membela diri dan menunjukkan berbagai prestasi dan penghargaan yang diperoleh. Padahal prestasi yang diraih selesai sebagai kebanggaan semata, tapi tidak mampu mengubah nasib rakyat menjadi lebih baik.
Penguatan Desa
Kondisi di atas tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Untuk itu pemerintah daerah (Pemda) harus tanggap dan bekerja cepat untuk menangani masalah ini agar tidak terjadi kembali di masa yang akan dating. Dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan gaya petugas pemadam kebakaran tidaklah cukup.
Pemda mesti memiliki skenario jangka panjang dengan melakukan penguatan kelembagaan di tingkat desa. Bukankah cerah dan buramnya potret pembangunan bisa dilihat dari desanya. Bila ini berhasil, dampaknya juga akan terlihat dari tingkat kabupaten, provinsi bahkan nasional. Dengan demikian kelembagaan desa bukan hanya menjalankan administrasi pemerintahan semata, tapi juga lebih fokus melakukan pemantauan terhadap berbagai gejala gizi buruk.
Bukankah sekarang bantuan-bantuan untuk pengembangan desa sangat besar. Apakah itu berasal dari pemerintah itu sendiri atau dari lembaga-lembaga donor yang dikelola oleh berbagai kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka bukan hanya menawarkan dana tapi juga bantuan dalam bentuk penguatan dan pengembangan kafasitas masyarakat desa. Ini peluang sekaligus tantangan dalam pengembangan pembangunan di desa.
Untuk itu kita perlu belajar dari banyak kepala desa yang berurusan dengan penegak hukum karena tidak mampu mengelola program dan keuangan desa dengan benar. Dengan begitu harus dipersiapkan dengan baik para pengelola dan kelompok lain sebagai pengontrol dari program pembangunan di desa. Termasuk mempersiapkan aktor perubahan untuk mendesain program penguatan kelembagaan di tingkat desa.
Tantangan lain, sekarang para elite-elite di desa, energi dan perhatiannya tersedot dengan agenda-agenda politik sebagai dampak dari pemekaran. Mereka kemudian abai dengan berbagai gejala kerawanan ekonomi dan sosial yang menimpa rakyatnya. Akhirnya suksesi kepemimpinan yang terjadi berkali-kali di tingkat desa tidak dapat membuahkan perubahan yang berarti bagi masyarakat.
Saya sendiri sangat merasakan euforia ini ketika pulang kampung. Dalam berbagai acara di kampung, birokrat desa selalu menjadikan isu pemekaran sebagai bahan obrolan dan diskusi. Jarang saya dengar mereka terlibat dalam pembicaraan yang serius untuk membicarakan program pemberdayaan yang dapat menekan kemiskinan.
*Terbit di Harian SUARA NTB, Rabu, 2 Maret 2011
Komentar
Posting Komentar