PESTA pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung sudah lama usai. Kini saatnya rakyat menagih janji-janji politik pasangan kepala daerah yang sedang berkuasa. Melalui Pilkada langsung diharapkan akan lahir sosok pemimpin yang legitimit. Sistem dan mekanisme ini diniatkan mampu mendorong partisipasi politik rakyat secara luas.
Melalui Pilkada langsung, rakyat memperoleh hak politiknya secara penuh untuk memilih figur pemimpin secara independen, bertanggungjawab dan tanpa unsur paksaan. Sesuatu di masa Orde Baru begitu sulit didapatkan. Tapi apa artinya, Pilkada langsung bila kepala daerah yang terpilih masih bermental status quo dan tidak mampu menggerakkan kesadaran rakyatnya.
Di NTB banyak kepala daerah yang memiliki prestasi gemilang. Mulai dari prestasi akademik dengan sederet gelar dari dalam dan luar negeri. Termasuk prestasi politik dengan menjadi ketua partai besar. Di tambah lagi dengan berbagai macam penghargaan dari komunitas masyarakat tertentu akan kiprah mereka.
Namun sering kali prestasi itu tidak memiliki korelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap berada pada posisi lemah dan terus bergulat dengan berbagai problem klasik yang selama ini mereka hadapi. Maka jadilah prestasi itu sebagai kebanggaan politik semata, bukan menjadi kebanggaan publik. Dengan begitu prestasi itu tidak mampu menggerakkan perubahan yang berarti di tengah masyarakat.
Coba kita tengok persentase penduduk miskin di NTB tahun 2010. Lombok Barat (gabung dengan KLU) dengan persentase kemiskinan 24,2 persen (202.435 jiwa), Lotim, 23,96 persen (270.609 jiwa), Sumbawa 23,35 persen (104.093 jiwa), KSB 23,01 persen (24.334 jiwa), Dompu 21,76 persen (49.524 jiwa), Loteng 20,94 persen (187.588 jiwa), Bima 20,42 persen (89.699 jiwa) dan Mataram, 15,41 persen (60.637 jiwa). Jadi penduduk miskin di NTB tercatat sebanyak 21,55 persen atau setara 1,9 juta jiwa. (Baca suarantb.com : Zona Merah Kemiskinan).
Bila mengacu kepada data-data di atas, gelar-gelar akademis dan berbagai prestasi politik yang diperoleh para kepala daerah di NTB ternyata belum mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Bahkan NTB belum beranjak pada posisi sebagai daerah tertinggal meski telah berusia setengah abad lebih.
Salah satu problemnya, kepala-kepala daerah yang memimpin bukan sosok pemimpin yang menggerakkan. Karakter ini yang tidak muncul pada diri kepala daerah selama Orde Baru berkuasa. Mesin birokrasi yang ada tidak mampu digerakkan untuk melayani rakyat. Mesin ini baru digerakkan jika kepentingan politik kepala daerah teracam.
Maka untuk memperkuat posisinya, perekrutan dan pengangkatan pegawai pun dianggap kebutuhan rasional. Padahal birokrasi yang ada telah mengalami obesitas alias kegemukan. Gaji dan fasilitas tiap tahun meningkat tapi roda pemerintahan tetap lamban dan gagap. Ini yang tidak dipikirkan oleh kepala daerah yang tidak memiliki visi penggerak.
Salah satu ciri kepala daerah yang menggerakkan, ia mampu mengelola birokrasi sebagai mesin pembangunan untuk melayani rakyat. Bukan untuk mempertinggi dan mempertebal tembok birokrasi untuk mengamankan kekuasaan. Model kepemimpinan seperti ini hanya akan melahirkan birokrasi yang hobi menghamba kepada kekuasaan. Bila kepala daerah berganti, maka yang terpikir dibenaknya bagaimana bermain muka dengan kepala daerah terpilih.
Tugas kepala daerah berikutnya-terus mencari jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bersama dengan itu ia terus berpikir bagaimana meningkatkan daya saing daerah yang dipimpinnya. Dan bagi negara yang dikategorikan sedang berkembang seperti Indonesia, mestinya paradigma yang perlu tanamkan adalah paradigma perubahan bukan anti perubahan.
Menurut pakar manajemen Rhenald Kasali, seorang kepala daerah yang memiliki visi perubahan setidaknya mampu mengajak rakyatnya untuk melakukan tiga hal. Pertama, melihat. Kedua, bergerak dan ketiga menyelesaikan perubahan. Jika ketiga hal ini mampu dilakoni, maka dengan sendirinya kepala daerah tersebut akan dapat memberikan harapan kepada rakyatnya. Pada situasi negara yang baru sembuh dari berbagai krisis, harapan sekecil apapun bentuknya tentu ditunggu oleh rakyat.
Memulai perubahan dibutuhkan kemampuan melihat. Melihat perubahan tentu sangat berbeda ketika melihat sesuatu yang wujudnya benda. Bagi sebagian orang, perubahan adalah sesuatu yang tidak mudah dibaca. Di sinilah peran kepala daerah untuk membuka cara pandang yang tepat dalam melihat perubahan kepada rakyat.
Pekerjaan berikutnya mengajak untuk bergerak. Tidak semua orang bersedia diajak untuk bergerak. Beberapa alasan kenapa orang enggan untuk bergerak? Diantaranya, hitung-hitung resiko, tidak memiliki kejelasan dan minimnya dukungan serta tidak adanya blue print strategi. Jika kedua hal ini berhasil disingkirkan, maka tugas berikutnya mengajak untuk menuntaskan perubahan.
Dalam kenyataannya, lagi-lagi orang yang sudah mampu melihat, bersedia bergerak ternyata juga tidak mampu menuntaskan perubahan sebagaimana rencana yang diimpikan sebelumnya. Inilah yang perlu diantisipasi. Dan di sinilah tantangannya agar kepala daerah tekun dan sabar mengantarkan daerah menuju perubahan yang lebih baik.
Selain itu, agar daerah memiliki daya saing, seorang kepala daerah harus mampu menyusun skenario pembangunan yang kreatif dan inovatif. Skenario itu tidak mungkin dapat berjalan dengan baik jika dijalankan oleh birokrasi yang nyaman dengan rutinitas dan minim etos kerja. Apalagi pendekatan yang dipakai masih menggunakan pendekatan kekuasaan.
Reformasi birokrasi hanya mungkin bergulir jika kepala daerah memiliki visi dan komitmen kuat terhadap perubahan, aktif dan kreatif mewujudkan visi-nya, sanggup memberi teladan, berdiri di barisan terdepan dan menjadi lambang bersama datangnya perubahan.
Berani Melompat
Sejak otonomi daerah diberlakukan di Indonesia - tidak susah mencari sosok kepala daerah yang mampu menggerakkan potensi daerahnya. Dari kabupaten Jembrana Bali, orang mengenal sosok Prof.Gede Winasa. Ia dinilai sebagai kepala daerah paling inovatif versi Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Wujud keberhasilannya bukan hanya berhasil mengratiskan sekolah dari SD-SMA. Ia berani melakukan reformasi birokrasi.
Selain berhasil melakukan efisiensi anggaran, teryata ia juga berhasil menaikkan APBD. Dan terpenting juga mampu menggerakkan dunia kewirausahaan. Meski belakangan ia juga tersandung kasus korupsi. Setidaknya ia telah menanamkan pondasi kepemimpinan inovatif yang banyak dikunjungi oleh daerah lain.
Sosok lain ada Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo –sekarang Menteri--. Selain berkomitmen melakukan reformasi birokrasi menuju penyelenggaraan pemerintahan yang efisien. Ia juga memiliki visi kewirausahaan yang kuat. Bukti nyata dari kerjanya-tampilnya Gorontalo sebagai sentra utama penghasil jagung di Indonesia.
Dalam sebuah wawancara dengan Pro2 RRI Jakarta, Fadel Muhammad mengungkapkan rahasia keberhasilannya menggembangkan komoditas jagung bagi daerahnya. Ia mengatakan, harus berani melakukan lompatan besar. Dalam artian, seorang kepala daerah selain memiliki visi kewirausahaan, ia juga harus berani melakukan lompatan besar. Maksudnya, memiliki pandangan jauh ke depan mencipta peluang-peluang baru.
Masyarakat NTB menanti kepala daerah yang menggerakkan. Menggerakkan mesin berokrasi sebagai penggerak utama pemerintahan. Menggerakkan sektor ekonomi agar terbuka lapangan pekerjaan. Dan yang lebih penting lagi mampu membuka kesadaran rakyat untuk bergerak bersama-sama merubah nasib mereka sendiri. Kesadaran itu yang akan menjadi energi kebangkitan daerah menjadi daerah yang lebih maju dan berdaya saing. **
* Terbit di Harian Suara NTB
*http://www.suarantb.com/2011/04/08/Sosial/detil5%201.html
*http://www.suarantb.com/2011/04/08/Sosial/detil5%201.html
Komentar
Posting Komentar