Langsung ke konten utama

Kemiskinan dan Rayuan Rentenir


Dua hari melakukan Focus Group Discution (FGD) di kelurahan Jempong dan Kelurahan Geguntur, Kecamatan Sekarbela, saya mendapatkan gambaran yang memadai akan kondisi kemiskinan di dua kelurahan tersebut. Dua kelurahan bisa menjadi gambaran betapa masih banyak warga Mataram yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski tidak bisa digeneralisir secara keseluruhan –dua tempat itu cukup menjadi contoh.

Sebagian besar warga di kelurahan itu mereka bekerja sebagai nelayan, pedagang ikan, sopir cidomo, tukang dan pembantu rumah tangga. Tak heran pendapatan mereka tidak menentu sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan kondisi seperti itu, hampir pasti mereka tidak mampu berpikir untuk mempersiapkan pendidikan dan kesehatan yang layak untuk putra- putri mereka.

Seorang istri nelayan bercerita kepada saya, ia harus menabung berbulan-bulan untuk bisa membeli mesin perahu bekas agar bisa dipakai melaut oleh suaminya. Itu pun ia harus pandai-pandai  menyisihkan uang dari hasilnya sebagai pembantu rumah tangga. Meski kita tahu gaji seorang pembantu rumah tangga tidak seberapa nilainya.

Pada bulan-bulan tertentu, hasil tangkapan ikan melimpah. Bila demikian sudah tentu harga ikan akan anjlok. Dan pada bulan yang lain hasil tangkapan ikan mengalami peceklik, khususnya bila cuaca buruk. Alat tangkapan mereka pun masih sangat sederhana, hanya mengandalkan pancing dan jaring kecil.

Dengan begitu hasil tangkapannya otomatis kecil. Maka tangkapan ikan yang tidak seberapa, katanya sudah menjadi pemandangan biasa di tempat itu meski mereka telah mengarungi lautan puluhan kilometer jauhnya. Hasil tangkapan ikan yang sedikit juga akan berpengaruh kepada pendapatan kusir cidomo. Ini terjadi karena pendapatan kusir cidomo secara rutin dari ongkos mengangkut ikan kebeberapa pasar di Mataram.

Hal yang sama dialami oleh warga yang menggantungkan hidupnya sebagai kusir cidomo. Pendapatan mereka juga tidak menentu, dalam sehari mereka hanya mendapatkan uang lelah hanya Rp 30 ribu. Sering kali malah hanya mendapatkan beberapa ribu saja. Meski mereka bekerja dari pagi sampai malam. Dan sekarang mereka harus bersaing dengan ojek atau taxi.

Demikian juga dengan warga yang menjadi pembantu rumah tangga. Pendapatan mereka perbulan berkisar antara Rp 250 - 350 perbulan. Itu pun mereka bekerja dari pagi sampai sore. Mereka baru bisa mengurus dan berkumpul dengan keluarganya ketika malam. Dengan pendapatan sebesar itu tentu sangat sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apa lagi kalau tanggungan kerja lebih dari dua orang.

Banyaknya dibangun komplek perumahan baru di sekitar perkampungan mereka memang memberikan peluang pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko atau tukang bangunan. Itupun kadang mereka juga harus bersaing dengan para pendatang. Kurangnya pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki menyebabkan pilihan pekerjaan untuk mereka sangat terbatas.

Itu baru aspek ekonomi dan lapangan pekerjaan saja,- saya belum bicara bidang pendidikan dan kesehatan yang tidak kalah memperhatikan. Kalau menjelaskan itu juga secara panjang lebar bisa-bisa berhalaman-halaman untuk menjelaskan kondisi warga di tempat itu. Satu aspek itulah yang menjadi gambaran umum. Untuk melihat kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat cukup dengan melihat ekonomi mereka.

‘Kanker’ Rentenir
Persoalan lain yang muncul dari dua kelurahan tersebut adalah praktik rentenir yang semakin luas. Para pelaku bisnis keuangan datang ke tempat mereka dengan berbagai tawaran pinjaman. Mulai dari koperasi simpan pinjam, koperasi bagi hasil bahkan mengatasnamakan Baitul Mal Wattanwil (BMT). Ekonomi yang lemah, pengetahuan yang kurang menjadi peluang bisnis bagi mereka untuk mengeruk keuntungan.

Sepintas mereka terlihat datang sebagai pahlawan penolong. Namun bila setoran pinjaman terlambat bunganya menjadi berlipat-lipat. Bahkan harta benda mereka bisa disita. Dengan pinjaman itu seolah-olah bisa menjawab persoalan keuangan yang masyarakat hadapi. Pada hal dilihat secara mendalam makin lama makin menyisakan persoalan yang lebih rumit.

Dan masih banyak masyarakat yang tidak sadar akan kehadiran rentenir di sekitar mereka. Mereka masih memandang praktik keuangan yang dijalankan masih wajar, sah serta legal. Dengan demikian kehadiran rentenir bukan dianggap sebagai masalah yang harus dicermati bahkan ditolak. Padahal kalau sudah jatuh dalam jebakan rentenir, masalahnya akan jauh lebih rumit.

Di tengah berbagai persoalan hidup yang dihadapi, orang kadang ingin keluar dari persoalan secara pintas. Meski begitu, masyarakat tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bisa jadi mereka bertindak demikian karena lemahnya pengetahuan,kurangnya jaringan termsuk minimnya perhatian atau keberpihakan pemerintah daerah terhadap mereka.

Rentenir itu ibarat kanker yang bisa menggerogoti daya tahan ekonomi masyarakat kecil. Dalam kondisi ini masyarakat kecil dihadapkan pada situasi yang dilematis. Inilah beberapa hal yang menyebabkan masyarakat semakin sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Saya yakin masalah seperti ini bukan saja dialami oleh Lingkungan Geguntur, Jempong dan Lingkungan Bangsal, Tanjung Karang saja tapi juga dialami oleh lingkungan-lingkungan lain di Kota Mataram – khususnya yang terletak di wilayah pinggiran. Inilah saya rasa pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Kota Mataram dengan semua perangkatnya agar bekerja sungguh-sungguh untuk mengeluarkan masyarakat dari gurita kemiskinan.

Lalu apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah daerah ? Pertama, memberikan kesadaran atau mengedukasi masyarakat agar mereka kritis terhadap berbagai macam model pinjaman yang berpotensi menjerat. Dengan begitu mereka tidak mudah terbuai oleh rayuan pinjaman modal. Kedua, memberikan keterampilan atau kecakapan hidup sehingga pilihan mencari nafkah hidup akan lebih banyak. Program ini juga mesti diikuti oleh pemberian modal kerja, pengelolaan dan pengawasan yang baik seperti bagaimana pihak swasta mengelola program.

Ketika Lakpesdam NU Kota Mataram melakukan FGD di Kantor Kelurahan Jempong - Ketua Remaja Lingkungan Geguntur, Hadi misalnya mulai sadar akan sepak terjang rentenir dilingkungannya. Mereka kemudian tergerak untuk membentuk lembaga keuangan yang bisa membantu masyarakatnya. Ia tidak mau masyarakatnya seterusnya ‘diperas’ oleh para rentenir. “Dengan cara begitu kami bisa mencegah mereka meluas. Kalau ditolak dengan cara fisik kami tentu tidak mampu karena mereka kuat dan punya bekingan” katanya.

Ide remaja Geguntur ini harus ditangkap oleh Pemkot Mataram bila serius mengurai kemiskinan dan rentenir. Ini juga menunjukkan masih ada remaja atau pemuda yang memiliki mimpi untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Pemkot Mataram bisa melatih dan menghimpun remaja usia produktif dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan yang bisa menjadi modal bekerja. Saya sangat yakin, melalui pendampingan terencana dan terus menerus remaja usia produktif kita mampu memutus mata rantai kemiskinan diberbagai tempat dikota Mataram.

Untuk konteks Mataram dan NTB secara keseluruhan– kemiskinan, keterbelakangan dan rentenir adalah persoalan aktual yang tengah dihadapi oleh masyarakat (umat). Inilah sebenarnya ladang jihad yang sesungguhnya. Membantu masyarakat terbebas dari gurita kemiskinan merupakan jalan jihad yang sebenarnya.**

*Tulisan ini pernah naik diharian SUARA NTB, Rabu, 04/12/2011 http://www.suarantb.com/2012/01/04/wilayah/Mataram/detil6.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legit dan Gurih Pelemeng Campur Poteng

Pelemeng dan Poteng, pasangan serasi untuk disantap bersamaan dikala silaturrahmi hari Lebaran SETIAP kampung di Lombok punya jajan khas yang dibuat khusus menjelang Hari Raya Idul Fitri. Di Desa Aikmel, Lombok Timur misalnya – beberapa hari menjelang lebaran, kaum ibu sudah sibuk menyiapkan beraneka jenis makanan dan jajan yang akan disajikan pada hari istimewa. Di antara jajan yang selalu ada disebut Pelemeng dan Poteng. Bila datang bersilaturrahmi kewarga - Pelemeng dan Poteng yang terdepan untuk disuguhkan. Pelemeng yang terbuat dari ketan rasanya gurih dan kenyal sedangkan Poteng terasa manis dan berair. Saat dimakan, akan bertemu rasa gurih dan manis dimulut. Dua jenis jajan tradisional masyarakat Sasak ini cukup mengenyangkan kalau dimakan.   Pelemeng terbuat dari ketan yang dibungkus dengan daun pisang. Membuat Pelemeng, daun pisang yang dipakai sengaja dipilih yang ukuran diameternya besar dan panjang. Daun pisang dijemur terlebih dahulu sebelum dibentuk supaya ti

Kejadian Mestakung Yang Saya Alami

Taman Bunga, Sembalun, Lombok Timur Bagi sebagian orang, apa yang saya alami ini mungkin hal biasa. Lumrah terjadi, sering kita alami dan pernah dialami oleh banyak orang. Saking biasanya, kita tidak tahu bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Kita menganggapnya itu kebetulan. Sedang beruntung saja. Pada hal itu bisa dijelaskan secara ilmiah bagaimana Mestakung bekerja. Belakangan saya baru sadar, ternyata banyak kejadian dalam hidup kita bagian dari Mestakung. Beberapa waktu yang lalu saya jatuh sakit sekitar dua bulan lebih. Badan saya lemas, was-was dan tidak konsentrasi. Setelah itu tiba-tiba badan, pinggang, lutut dan pergelangan tangan ikut-ikutan sakit. Sampai ngilu-ngilu. Selera makan jadi tiba-tiba hilang. Beberapa obat tradisional sudah saya coba tapi hasilnya tidak menunjukkan perubahan. Saya pun memutuskan untuk berobat disebuah rumah sakit swasta di Mataram. Siangnya saya minta kepada adek ipar yang bekerja dirumah sakit tersebut untuk mendaftarkan kedokter bagian da

Buah Bile

Penulis bersama seorang teman dengan latar buah bile dihalaman Hotel Mina Tanjung, Lombok Utara. SUDAH lama tidak melihat pohon bile yang berbuah lebat dan besar. Sekarang pohonnya mulai langka, apa lagi yang berbuah besar seperti ini. Bersyukur bisa melihat lagi pohon ini di Mina Tanjung Hotel, KLU. Buah (buaq, Sasak) pohon ini sering kita pakai bermain dulu waktu kecil dikebun dan disawah. Kadang kita tendang-tendang seperti bola. Pohonnya sering kita pakai membuat gasing. Kalau musim gasing, kita sering keliling sawah dan kebun untuk mencari pohon bile yang ukurannya pas untuk membuat gasing. Kita sampai nekad mencuri pohon milik orang yang tumbuh jadi pagar sawah atau kebun orang demi mendapatkan bahan untuk membuat gasing yang bagus. Pohon atau rantingnya bagus jadi bahan membuat gasing karena seratnya bagus dan tidak ada 'hati' seperti pohon yang lain. Di kampung saya Lombok Timur belum pernah saya lihat atau dengar orang memakan buah bile. Tapi didaerah lain di Lomb