Jum’at (16/3) yang lalu, hujan sore baru saja reda. Ketika berdiri didepan gerdung UKM Universitas Mataram, dari arah selatan berjalan seorang laki-laki tua. Usianya kira-kira sudan melebihi 60-an tahun. Tinggi badannya tidak jauh beda dengan
saya. Dan tanpa saya sadari, ternyata ia mendekati saya yang masih duduk diatas motor.
“Bau ta ngendeng kepeng kadu beli nasi, lekan onek ndekman bekelor” (Bisa minta uang pakai beli nasi, dari tadi belum makan).
“Wah da lekan mbe” (sudah dari mana).Tanya saya padanya.
“Wah tiang meta pegawean, laguk lekan onek kelemak ndekta mau”.( Sudah saya mencari pekerjaan, tapi sejak tadi pagi saya tidak mendapatkan”.
Begitu mendengarkan penjelasannya, rasa iba saya pun terpancing seketika. Tanpa berpikir lama-lama, saya pun memberinya uang Rp.10.000.
“Side lekan mbe” (anda dari mana). Tanya saya lagi.
“Tembelok” jawabnya singkat.
Meski saya tidak tahu tembelok tu dimana, bagi saya itu tidak penting asalkan bapak tua berbaju lusuh itu dapat makan setelah itu.
Dan sejurus kemudian ia tiba-tiba menjabat tangan saya lalu menciumnya. Saya kaget sekaligus heran. Mungkin saking syukurnya saya memberinya uang, ia tanpa segan mencium tangan saya yang dari segi usia tidak pantas untuk dicium tangannya. Dan saya lebih pantas menjadi cucunya ketimbang menjadi orang yang harus dihormati dengan mencium tangan. Setelah peristiwa cium tangan itu, ia pun berlalu meninggalkan saya begitu saja.
Kepergian dan kedatangannya yang tiba-tiba itu tentu menyisakan pikiran dalam diri saya. Betulkan bapak itu benar-benar belum makan? Sudah kemana saja ia berjalan mencari pekerjaan tapi sesuap nasi pun ia tidak dapat?
Kalau saja kejadian ‘cium tangan’ itu saya ketahui sebelumnya, tidak mungkin saya berikan bapak tua itu mencium tangan saya. Bagi saya memberikan uang sadaqah itu hal biasa dan tidak perlu cium-cium tangan begitu.
Pengalaman unik ini akan terkenang seterusnya.
saya. Dan tanpa saya sadari, ternyata ia mendekati saya yang masih duduk diatas motor.
“Bau ta ngendeng kepeng kadu beli nasi, lekan onek ndekman bekelor” (Bisa minta uang pakai beli nasi, dari tadi belum makan).
“Wah da lekan mbe” (sudah dari mana).Tanya saya padanya.
“Wah tiang meta pegawean, laguk lekan onek kelemak ndekta mau”.( Sudah saya mencari pekerjaan, tapi sejak tadi pagi saya tidak mendapatkan”.
Begitu mendengarkan penjelasannya, rasa iba saya pun terpancing seketika. Tanpa berpikir lama-lama, saya pun memberinya uang Rp.10.000.
“Side lekan mbe” (anda dari mana). Tanya saya lagi.
“Tembelok” jawabnya singkat.
Meski saya tidak tahu tembelok tu dimana, bagi saya itu tidak penting asalkan bapak tua berbaju lusuh itu dapat makan setelah itu.
Dan sejurus kemudian ia tiba-tiba menjabat tangan saya lalu menciumnya. Saya kaget sekaligus heran. Mungkin saking syukurnya saya memberinya uang, ia tanpa segan mencium tangan saya yang dari segi usia tidak pantas untuk dicium tangannya. Dan saya lebih pantas menjadi cucunya ketimbang menjadi orang yang harus dihormati dengan mencium tangan. Setelah peristiwa cium tangan itu, ia pun berlalu meninggalkan saya begitu saja.
Kepergian dan kedatangannya yang tiba-tiba itu tentu menyisakan pikiran dalam diri saya. Betulkan bapak itu benar-benar belum makan? Sudah kemana saja ia berjalan mencari pekerjaan tapi sesuap nasi pun ia tidak dapat?
Kalau saja kejadian ‘cium tangan’ itu saya ketahui sebelumnya, tidak mungkin saya berikan bapak tua itu mencium tangan saya. Bagi saya memberikan uang sadaqah itu hal biasa dan tidak perlu cium-cium tangan begitu.
Pengalaman unik ini akan terkenang seterusnya.
mantap ceritanya, tp sebaiknya yang terpenting bagaimana belajar ikhlas.
BalasHapus