sumber :http://www.bigmansirait.com |
Satu setengah bulan menjelang pemilihan calon anggota legislatif (Caleg), 9 April mendatang, persaingan antar calon semakin panas. Semua calon berlomba mendekati calon pemilih dengan berbagai cara. Ada yang datang membawa bantuan langsung, ada juga yang datang hanya membawa janji dan harapan.
Di berbagai tempat, saya melihat banyak Caleg yang mengkapling-kapling daerah basis pemilihannya dengan segala cara. Salah satu caranya, melarang dan menolak calon lain masuk kewilayahnya. Kalau ada calon lain masuk memperkenalkan diri melalui, baik spanduk dan stiker, diam-diam mereka rusak supaya masyarakat tidak mengenal calon tersebut.
Di alam demokrasi dan keterbukaan saat ini, masyarakat memiliki hak penuh memilih calon yang terbaik menurut mereka. Tak masalah, ia berasal dari dalam atau luar wilayah tersebut asalkan masyarakat percaya dan mampu memperjuangkan aspirasi politik mereka. Walau berasal dari satu lingkungan namun masyarakat mengenggap tidak kompeten, masyarakat akan merasa rugi memilihnya.
Sistem demokrasi yang kita anut memberikan ruang bagi siapa saja untuk berkompetisi. Dengan harapan akan ada persaingan yang bisa melahirkan wakil rakyat yang berkuwalitas dan kompeten. Bukan wakil rakyat yang hanya bermodalkan kesukuan, ikatan kekeluargaan dan premordialisme lokal.
Kalau seorang Caleg yakin dan percaya kepada kemampuan politik, jaringan dan penerimaan masyarakat kepadanya, maka sebenarnya ia tidak perlu khawatir akan disaingi. Apa lagi kalau saingan berasal dari luar. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Caleg tersebut belum memiliki sikap, mental dan keyakinan menjadi seorang pemenang.
Yang ada baru keinginan dan hasrat untuk menang. Bukankah hasrat saja tidak cukup. Perlu dibarengi dengan kerja keras, keyakinan dan kesungguhan untuk menyelami keinginan dan aspirasi rakyat. Caleg seperti inilah yang mudah terjebak dalam pragmatisme politik, barter suara dengan uang.
Kalau pun mereka berhasil menghimpun suara terbanyak dan berhasil duduk sebagai wakil rakyat, kita tidak bisa berharap banyak dari wakil rakyat seperti ini. Mereka selalu sibuk mengurus ganti rugi dana yang telah dikeluarkan. Setelah terpilih, ia akan sibuk mengamankan posisinya dan selalu menginginkan posisi yang lebih. Dengan demikian, ia akan mudah lupa dengan rakyat.
Itulah yang banyak menimpa wakil rakyat kita selama ini. Mereka abai dan lupa dengan konstituennya akibatnya tidak sedikit yang terjerat dengan berbagai kasus hukum dan korupsi. Mereka asyik mencari proyek ketimbang terlibat menangani berbagai problem sosial yang membelit masyarakat. Rakyat pun sudah kenyang dengan pengalaman seperti ini.
Seorang yang memiliki mental pemenang dalam dirinya akan siap bersaing dengan siapa saja untuk memperoleh kemenangan. Tentu dengan cara yang jujur dan sportif sebagaimana aturan main yang ada. Pada Pileg yang akan datang masyarakat bisa menilai mana Caleg yang memiliki mental pemenang dan mana yang tidak.
Dari cara dan model pendekatannya kepada masyarakat, kita bisa melihat mana calon yang memiliki integritas dan mana yang hanya bermodalkan popularitas tapi miskin integritas. Calon yang tidak punya integritas akan mudah mengunakan segala cara termasuk melanggar aturan main yang disepakati bersama untuk meraih kemenangan.
Dengan begitu, maka melalui Pemilihan Legislatif (Pileg) ini masyarakat bisa melihat mana pemenang dan mana pecundang. Mana calon yang memiliki integritas dan mana yang hanya pencitraan. Apa lagi Pileg ini bukan hanya pertarungan meraih sebuah kursi tempat duduk tapi juga pertarungan harga diri dan pengaruh. Kalau gagal maka secara tidak langsung akan berpengaruh kepada dua hal tersebut.
Orang yang memiliki mental pemenang tentu akan malu memperoleh kemenangan dengan cara curang. Ia ingin kemenangan yang didapat diperoleh dengan cara terhormat. Karena ia merasa apa yang dia perjuangkan bukan semata tentang kekuasaan tapi menyangkut reputasi dan harga diri yang bermuara dari kepercayaan masyarakat kepadanya.
Modal Menang
Supaya tampil keluar sebagai pemenang dalam Pemilihan Legislatif yang akan datang, bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak hanya dibutuhkan kerja keras, integritas dan keyakinan yang berasal dari dalam tapi perlu didukung kuat yang berasal dari luar. Tanpa itu akan susah memenangkan pertarungan.
Firmasyah, mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan sekarang staf presiden bidang ekonomi mengatakan seorang calon anggota legislatif, calon kepala desa, calon bupati, gubernur dan presiden bisa memenangkan pertarungan politik jika memiliki modal sosial dan modal financial. Tanpa modal itu, akan sulit meramal seseorang akan menang dalam persaingan politik.
Modal sosial itu berupa tingkat popularitas, penerimaan dan peran sosialnya ditengah masyarakat. Dengan modal sosial yang kuat, seorang politisi memiliki potensi yang sangat besar untuk menang. Lebih-lebih kalau calon bersangkutan berasal dari orang lokal atau daerah setempat. Biasanya akan berbeda penerimaan masyarakat kalau calon itu berasal dari luar wilayah. Namun ia berpotensi menang manakala masyarakat melihatnya sebagai sosok yang berprestasi.
Modal kapital, kemampuan financial yang dimiliki seseorang untuk menaikkan popularitas dan peran ditengah masyarakat. Dengan kemampuan financialnya, ia bisa membayar konsultan politik, membayar media untuk pencitraan sampai pada memberikan sumbagan kepada masyarakat tertentu yang kemudian tidak lupa diumumkan kepada publik melalui media massa.
Dengan demikian cost politik yang harus dikeluarkan tentu akan jauh lebih besar ketimbang calon lain yang modal sosialnya lebih kuat ditengah masyarakat. Ia bisa membayar siapa saja untuk menyiapkan segala hal yang dibutuhkan. Termasuk tim sukses yang bekerja menyukseskan pencalonannya. Pertarungan yang menggunakan kekuatan modal sosial dan modal financial dalam merebut posisi politik, kini kerap kita jumpai. Mulai dari pemilihan kepala desa, bupati, gubernur dan presiden.
Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta beberapa waktu lalu, kita bisa melihat secara gamblang bagaimana Jokowi –Ahok yang semua orang tahu merupakan orang luar dan didukung hanya dua partai bisa menang melawan incombent yang didukung oleh banyak partai dan Ormas. Ditambah lagi modal kapital yang sangat kuat. Kemenangan Jokowi-Ahok terletak pada modal sosial yang dimiliki.
Prestasi kerja Jokowi selama menjadi Walikota Solo dua periode tak kuasa menular kepada masyarakat Jakarta untuk memilihnya. Bukankah kebaikan, prestasi, kerja keras dan integritas itu bisa menular kemana-mana tanpa bisa dibendung oleh sekat-sekat suku, georafis dan kekuatan modal. Ia bisa menghipnotis siapa saja untuk takjub kepadanya. Apa lagi media massa dan internet kini telah menjadi sel-sel yang terus bergerak tenpa henti membagi informasi itu kepada siapa saja dan dimana saja.
Dan Pileg yang akan datang adalah audisi politik untuk mencari wakil rakyat yang memiliki mental pemenang bukan pecundang. Sang pemenang tentu memiliki visi, keyakinan, strategi, modal sosial dan modal kapital. Tanpa itu menurut marketing politik, akan sulit membayangkan seorang Caleg keluar sebagai pemenang pada April mendatang. Tapi dalam politik selalu ada kejutan, maka kita tunggu kejutan itu.**
*Terbit Harian Suara NTB, Senin 24 Februari 2014 hal Opini.
Komentar
Posting Komentar