Salah satu sudut keindahan pantai Gili Trawangan, Lombok (http://komunitas.yellowpages.co.id) |
SELAKU orang yang bekerja dilembaga Non Goverment Organization (NGO), saya kerap didatangi oleh orang, jaringan, organisasi atau lembaga yang mau datang ke Lombok. Baik yang berasal dari dalam atau luar negeri. Mereka datang ke Lombok dengan berbagai tujuan. Ada yang datang untuk wawancara, meneliti, monitoring program pemerintah, kerjasama program atau datang hanya liburan menikmati keindahan Lombok bersama teman, keluarga atau pasangannya.
Walau datang dengan tujuan yang berbeda, saya perhatikan terdapat persamaan diantara mereka. Misalnya, mereka akan menanyakan tempat menginap. Tempat yang asyik untuk dikunjungi. Tempat makan yang enak dan terakhir biasa mereka mencari makanan atau oleh-oleh khas Lombok. Awalnya saya sempat bingung untuk merekomendasikan kemana sesuai permintaan tapi lama-lama saya mengerti kebutuhan mereka.
Pengalaman itu secara tidak sangaja menjadikan saya sebagai ‘gaet dadakan’ - diminta atau tidak menjadi pemandu arah bagi mereka selama di Lombok. Selaku gaet tentu saya harus mengerti akan membawa mereka kemana bila ingin mencari penginapan, lokasi obyek wisata yang disuka, tempat makan yang khas dan enak serta dimana memperoleh oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Tidak itu saja, sering para tamu itu mencari tempat penyewaan mobil atau motor yang bisa dipakai keliling Lombok.
Teman saya yang juga bekerja di NGO melihat ini sebagai peluang bisnis. Ia berani mengambil kredit mobil untuk disewakan ketamu yang datang ke Lombok. Keberaniannya mengambil kredit mobi itu tentu bukan tanpa perhitungan. Selama ini ia memang berpengalaman untuk mengurus tiket, antar mengantar tamu. Meski setiap hari ngantor bisnisnya tetap jalan karena operasionalnya dipercayakan kepada orang lain. Dalam waktu tidak lama, teman itu sudah memiliki tiga mobil rent car. Itulah salah satu berkah bangkitnya pariwisata Lombok.
Pengalaman menjadi guet tersebut, saya dapat memetik pelajaran bahwa seorang guet mesti tahu, peka dan mengerti kebutuhan mereka. Apa lagi kebutuhan tamu itu sering kali tidak sama dan kadang aneh-aneh. Kalau tidak paham, waktu kita habis untuk menemani mereka. Bahkan tak jarang kita harus mengeluarkan biaya. Ini sering terjadi pada gaet tidak resmi seperti saya. Kalau guet rismi kan taripnya sudah jelas. Tidak perlu dibicarakan disini.
Sebagai bentuk syukur bangkitnya pariwisata Lombok saat ini sudah seharusnya para komponen yang terkait dengan stekholder pariwisata untuk meningkatkan pelayanan (service) yang baik dan memuaskan kepada tamu yang datang ke Lombok. Apa lagi pariwisata adalah bisnis jasa pelayanan. Bisnis yang menjal service. Dengan service yang memuaskan para tamu itu tidak akan ragu untuk membelanjakan uangnya. Bukankah besar kecil belanja wisatawan itu akan sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi NTB. Ini lah yang menyebabkan banyak orang berpadangan bahwa pariwisata adalah tambang emas yang tak akan ada habisnya.
Untuk mengelola bisnis jasa pariwisata yang baik, sekali lagi tantangan kita bukan hanya menyangkut obyek wisata, infrastruktur dan lingkungan yang mendukung tapi juga tentang service. Yang bisa memberian service tentu hanya manusia atau masyarakat Lombok. Layanan yang baik bisa memaksa tamu untuk datang berkali-kali ke Lombok. Terkait hal ini baca juga tulisan saya dimedia ini sebelumnya dengan judul, “Lombok di Mata Ippho Santosa”.
Terkait kesiapan kita memberikan service yang baik kepada tamu, saya rasa bukan hanya miliknya pelayan hotel berbintang. Sopir, pedagang kecil, pemilik rumah makan pun mestinya mengerti pentingnya service. Kalau tidak, maka wisatawan atau pengunjung akan pulang dengan cerita yang kurang menyenangkan. Bukankah ini salah satu bentuk potensi bisnis yang hilang.
Saya beberapa kali punya pengalaman mengajak tamu makan dicafe yang tidak siap memberikan service standar. Di sebuah cafe di Jalan Majapahit saya membawa empat orang tamu dari Jogjakarta. Disana agenda kita menjajaki kerjasama program sekalian makan malam bersama. Tapi satu jam lebih kita bicara, makanan yang dipesan tidak kunjung datang. Setelah ditanya berkali-kali kepelayanannya ternyata bahan yang dimasak tidak ada.
Hal serupa juga pernah saya alami disebuah cafe di sekitar Taman Udayana. Ketika itu saya datang dengan empat orang tamu dari perwakilan lembaga negara di Jakarta. Oleh teman itu saya diminta mengundang enam orang perwakilan NGO yang di Mataram. Setengah jam diskusi makan siang yang kita pesan tak kunjung muncul. Setelah dicek kepelayannya ternyata cafe tersebut kekurangan pelayanan. Mau cari pindah tempat makan tidak enak pada hal perut sudah lapar sementara kita juga sudah pakai tempatnya sekian jam.
Dari pengalaman ini saya berpendapat, ternyata kita belum terlalu siap menerima dan melayani limpahan wisatawan dari luar. Kita mungkin baru siap tempat atau produk yang bisa dijual tapi tidak siap bagaimana menjualnya sehingga pembeli menjadi nyaman dan puas. Kalau apa yang kita jual bagus ditambah pelayanan yang memuaskan maka akan mudah memasarkan produk kita. Kata ahli pemasaran, orang mau membeli sebuah produk termasuk jasa bukan semata karena harga dan kuwalitasnya tapi juga menyangkut emosi orang yang membeli.
Selama ini aparatur yang dipercaya mengurus pariwisata lebih suka untuk mengikuti promosi kemancanegara walau plus dapat jalan-jalan gratis keluar negeri. Pemerintah daerah (Pemda) juga berani membiayai berbagai promosi dan iklan melalui media tentang keindahan obyek wisata. Beberapa kali juga mengadakan event promosi diberbagai tempat dengan biaya yang tidak kecil. Namun sayang Pemda tidak berani mengeluarkan dana untuk memberikan pelatihan kepada pemilik usaha dalam malayan tamu.
Ini bisa diperhatikan dari tidak minimnya progam yang secara khusus mengedukasi masyarakat bagaimana menghadapai wisatawan. Kecuali yang dilakukan oleh pihak swasta yang memang khusus dilakukan untuk kepentingan bisnisnya sendiri. Dengan begitu dampaknya terbatas kepada mereka saja. Berbeda kalau itu diprogramkan rutin oleh pemerintah daerah dengan biaya yang memadai. Dengan demikian secara bertahap akan tersedia sumber daya lokal yang cakap mengelola bisnis pariwisata. Selama ini tenaga seperti itu mayoritas dari luar termasuk dari luar negeri.
Dan sebentar lagi kita akan menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) 2015 yang banyak orang menyebutnya sebagai pasar bebasnya Asia. Di sana sudah disepakati bea masuk barang dan jasa akan dihapus. Tenaga kerja terampil dari kawasan Asia akan berbondong-bondong masuk ke Indonesia untuk bekerja. Pertanyaannya, sudah siapkah kita bersaing dengan mereka ? Jelas menghadapai itu diperlukan daya saing dan kesiapan menghadapi. Apa lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN akan membawa tantangan sekaligus peluang.
Selain itu dibutuhkan visi pariwisata yang jauh kedepan. Bukan hanya bicara bagaimana mendatangkan wisatawan dari luar tapi bagaimana penguatan kedalam seperti pada pelayan toko, sopir, gaet, pemilik usaha dana lain-lain. Kalau orang lokal tidak siap dengan modal, minimal mereka siap secara keterampilan dan pengetahuan. Dengan begitu diharapkan orang lokal bukan hanya puas menjadi pelayan tapi malah menjadi pemilik dari usaha wisata tersebut. Kalau sudah begitu otomatis pendapatan juga mengalami peningkatan.
Itu baru namanya pariwisata yang memuaskan dan menyenangkan. Puas dari segi layanan dan kenyang dengan pendapatan. Ayo siapa yang tidak ingin puas dan kenyang ?
*Terbit di Harian SUARA NTB, Selasa 11 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar