Langsung ke konten utama

Membaca Untuk Menulis

membaca untuk menulis, membaca sebagai kebutuhan, koran suara NTB, word book day,
Bertemu dengan sesama penulis dan pecinta buku salah satu cara untuk mencas semangat menulis

Artikel ini sudah terbit di Koran SUARA NTB, 9 Juni 2014 
 
Hari Buku Sedunia (World Book Day) 2014 yang jatuh pada 23 April sudah berlalu. Walau begitu saya tidak ingin meninggalkan peristiwa itu tanpa meninggalkan sepotong catatan yang berarti akan hari itu. Bukankah sebuah peristiwa akan bermakna kalau kita berhasil memetik pembelajaran dari peristiwa tersebut. Apa lagi kalau peristiwa itu sudah berlangsung lama dan gampang dilupakan orang.

Pada tulisan ini saya tidak ingin mengulas kembali sejarah World Book Day tersebut. Sejarah dari peristiwa itu sudah banyak ditulis orang. Saya malah ingin memanfaatkan momentum Hari Buku Sedunia itu untuk memperkenalkan pandangan baru dalam membaca dan menulis yang benar. Saya ingin pembaca memaknai membaca-menulis itu mudah dan menyenangkan bila ingin mendapatkan manfaat maksimal dari aktivitas membaca-menulis. Pandangan itu kita sebut saja ‘membaca untuk menulis’.

Bagi saya membaca dan menulis dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia ibarat dua keping mata uang yang saling menempel. Kalau orang suka membaca, mestinya orang tersebut suka dan bisa menulis. Begitu juga sebaleknya orang yang suka menulis akan suka membaca. Membaca apa saja yang menurut dia menarek dan bermanfaat untuk dibaca. Bahan bacaan pun sangat melimpah disekeliling kita. Tinggal kita mau atau tidak membacanya.

Bahan atau sumber bacaan itu maknanya luas. Bahan bacaan kita bukan hanya teks tersurat dalam bentuk catatan di buku, majalah, koran dan lain sebagainya. Sumber bacaan lain berupa konteks yang masih tersurat. Baik itu konteks tempat, waktu dan zaman yang tersurat. Manusia dibekali akal sehat oleh Tuhan supaya mampu membaca teks yang tersurat dan konteks yang tersurat. Teks yang tersurat bisa disebut sumber bacaan yang terbaca dan konteks tersirat dianggap bahan bacaan yang tak terbaca. Untuk bisa membaca yang terakhir ini dibutuhkan pengetahuan khusus tentunya.

Maka akan semakin baik kalau setelah membaca teks dan kontek sebuah peristiwa ditulis dan dicatat. Dari membaca teks dan konteks, ketika ditulis akan lahir teks-teks baru yang bisa dibaca oleh umat manusia diseluruh dunia. Para pembaca yang membaca tulisan itu kemudian mengulasnya sehingga lahir teks-teks dan tafsir baru akan karya tersebut. Begitulah sistem pengetahuan baru diproduksi dan dikembangkan. Sebuah pengetahuan tidak akan mati bila sudah diabadikan dalam bentuk teks tertulis.

Berbekal akal sehat yang dianugrahkan Tuhan, setiap manusia memiliki kemampuan untuk mencari dan menggali sumber bacaan baru yang positif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Baik itu pengetahuan yang sudah tertulis dalam buku, majalah, koran, internet atau melalui tanda-tanda alam yang sangat luas dan indah ini. Dari berjuta tanda-tanda alam itu sangat sayang kalau kita tidak mampu memetik pelajaran dan hikmah darinya. Bukankah Tuhan telah menebar jutaan rahasia alam untuk kita pelajari dan renungkan.

Paradigma membaca untuk menulis sesungguhnya akan menuntun kita untuk membaca bukan hanya sekedar untuk tahu. Tapi membaca untuk memahami, mendalami, menyelami, menyerap dan memetik pembelajaran dari bahan bacaan yang kita baca. Bila membaca hanya untuk memenuhi ketidaktahuan, selesai membaca kita akan cepat lupa dan meninggalkan apa yang kita baca. Ibarat orang yang kehausan, setelah dapat minum, air dan botolnya langsung dibuang ditempat sampah.

Muhammad Iqbal, lpm ro'yuna, membaca untuk menulis, membaca sebagai kebutuhan, koran suara NTB, word book day,
Iqbal sedang menikmati buku Pasantren Studies disela-sela acara diskusi buku tersebut dengan penulisnya Ahmad Basso
Dari sana saya lalu memahami bahwa pengertian membaca-menulis itu sangat sederhana. Membaca itu ‘memasukkan’ dan menulis itu ‘mengeluarkan’. Kita sering mendengar ungkapan, membaca itu membuat orang kaya pengetahuan, pandangan yang luas dan tidak melihat dunia dalam kacamata yang sempit dan hitam. Kalau bahan bacaan yang dimasukkan baik dan positif, maka tulisan yang dikeluarkan juga akan baik dan memberikan manfaat kepada pembaca.

Untuk itu seorang penulis yang baik sudah tentu memiliki bahan bacaan yang luas dan beragam. Setiap hari dia memasukkan berbagai bahan bacaan untuk mengisi dirinya. Segala jenis bahan bacaan yang dikonsumsi itu tentunya akan mengenyangkan dirinya sehingga ia makin kaya dan paham akan apa yang ia baca dan dalami. Baginya membaca bukan sebatas hoby tapi sudah menjadi kebutuhan sehari hari. Ia membaca seperti orang makan dan minum setiap hari.

Dengan begitu semakin jelas bahwa seorang penulis sangat memerlukan bahan bacaan. Membaca akan menjadi amunisi, energi serta kekuatan baginya untuk terus menulis. Kekuatan dan semangat menulisnya akan terus terjaga manakala energi untuk berbagi dan menginspirasi terus diisi. Salah satu caranya mencas semangat menulis adalah dengan membaca bacaan yang berisi nan bergizi.

Seorang yang telah memahami manfaat besar membaca akan menghindari bacaan-bacaan yang tidak bergizi. Dia sadar, apa yang kita baca akan mempengaruhi kesehatan pikiran dan mental. Oleh sebab itu sangat perlu mengkonsumsi bacaan yang menularkan optimisme ketimbang menyebarkan pesimisme yang hanya bisa mengurai masalah. Maka perlu menginvestasikan uang untuk membeli bahan bacaan yang menginspirasi dan mendorong semangat perubahan.

Menulis itu juga sebenarnya mengikat dan mengawetkan pandangan, pengalaman dan pengetahuan seorang penulis. Kejadian, peristiwa atau pengalaman masa lalu yang sudah terpendam dan terkubur oleh waktu bisa dimunculkan, dikongkritkan lagi melalui tulisan. Melalui tulisan pembaca akan tahu, paham dan mengerti akan sebuah peristiwa. Termasuk bagaimana situasi, kondisi dan suasana batin penulisnya.

Kejadian yang sudah terkubur puluhan sampai ratusan tahun bisa diangkat (aktual) kembali kepermukaan bumi sehingga publik tahu kejadian tersebut. Istilah lainnya, sesuatu yang sudah tidak bernyawa bisa ditiupkan nyawa atau dihidupkan kembali. Disitulah kekuatan sebuah tulisan dan penulisnya. Dengan demikian, seorang penulis bukan hanya pencipta ilmu pengetahuan namun ia juga seorang yang sangat berjasa mengawetkan dan mendistribusikan ilmu pengetahuan.

Sekali lagi kegiatan membaca akan lengkap, sempurna dan produktif bila diteruskan dengan menulisnya. Menulis apa saja yang sudah dibaca, dilihat dan dirasakan. Dengan menulis berbagai hal yang kita baca, tangkap dan dengarkan maka sejatinya kita sedang mengikat, menghimpun dan memberi makna pada sesuatu. Setelah diikat dalam kemasan tulisan yang menarek selanjutnya tinggal dibagi (share) kepada orang lain.

Untuk mengikat dan membagi sebuah tulisan kini semakin mudah. Alat untuk mengikat dan media sebagi tempat untuk membagikan kepada orang lain juga semakin beragam. Ada media cetak dan elektronik. Boomingnya media sosial semakin memudahkan penulis untuk mempublikasi dan membagi tulisannya. Tidak perlu lagi sebuah tulisan melewati birokrasi editorial ketat yang berpotensi melakukan sensor terhadap tulisan. Biarlah pembaca yang akan menilai layak tidaknya sebuah tulisan untuk dihargai.

Saya sendiri sangat beruntung telah membaca buku Mengikat Makna dan Seandainya Buku Itu Sepotong Pizza beberapa tahun lalu. Buku karya Hernowo Hasyim itu telah membuka pandangan saya dalam memandang kegiatan membaca-menulis. Buku itu telah membantu saya menemukan makna membaca-menulis yang sesungguhnya. Lebih dari itu, kedua buku itu telah membuat saya ketagihan membaca dan menulis setiap hari. Kalau pembaca ingin tertular virus membaca-menulis yang mengasyikkan, ada baiknya anda segera membaca dua buku tersebut.**


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legit dan Gurih Pelemeng Campur Poteng

Pelemeng dan Poteng, pasangan serasi untuk disantap bersamaan dikala silaturrahmi hari Lebaran SETIAP kampung di Lombok punya jajan khas yang dibuat khusus menjelang Hari Raya Idul Fitri. Di Desa Aikmel, Lombok Timur misalnya – beberapa hari menjelang lebaran, kaum ibu sudah sibuk menyiapkan beraneka jenis makanan dan jajan yang akan disajikan pada hari istimewa. Di antara jajan yang selalu ada disebut Pelemeng dan Poteng. Bila datang bersilaturrahmi kewarga - Pelemeng dan Poteng yang terdepan untuk disuguhkan. Pelemeng yang terbuat dari ketan rasanya gurih dan kenyal sedangkan Poteng terasa manis dan berair. Saat dimakan, akan bertemu rasa gurih dan manis dimulut. Dua jenis jajan tradisional masyarakat Sasak ini cukup mengenyangkan kalau dimakan.   Pelemeng terbuat dari ketan yang dibungkus dengan daun pisang. Membuat Pelemeng, daun pisang yang dipakai sengaja dipilih yang ukuran diameternya besar dan panjang. Daun pisang dijemur terlebih dahulu sebelum dibentuk supaya ti

Kejadian Mestakung Yang Saya Alami

Taman Bunga, Sembalun, Lombok Timur Bagi sebagian orang, apa yang saya alami ini mungkin hal biasa. Lumrah terjadi, sering kita alami dan pernah dialami oleh banyak orang. Saking biasanya, kita tidak tahu bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Kita menganggapnya itu kebetulan. Sedang beruntung saja. Pada hal itu bisa dijelaskan secara ilmiah bagaimana Mestakung bekerja. Belakangan saya baru sadar, ternyata banyak kejadian dalam hidup kita bagian dari Mestakung. Beberapa waktu yang lalu saya jatuh sakit sekitar dua bulan lebih. Badan saya lemas, was-was dan tidak konsentrasi. Setelah itu tiba-tiba badan, pinggang, lutut dan pergelangan tangan ikut-ikutan sakit. Sampai ngilu-ngilu. Selera makan jadi tiba-tiba hilang. Beberapa obat tradisional sudah saya coba tapi hasilnya tidak menunjukkan perubahan. Saya pun memutuskan untuk berobat disebuah rumah sakit swasta di Mataram. Siangnya saya minta kepada adek ipar yang bekerja dirumah sakit tersebut untuk mendaftarkan kedokter bagian da

Buah Bile

Penulis bersama seorang teman dengan latar buah bile dihalaman Hotel Mina Tanjung, Lombok Utara. SUDAH lama tidak melihat pohon bile yang berbuah lebat dan besar. Sekarang pohonnya mulai langka, apa lagi yang berbuah besar seperti ini. Bersyukur bisa melihat lagi pohon ini di Mina Tanjung Hotel, KLU. Buah (buaq, Sasak) pohon ini sering kita pakai bermain dulu waktu kecil dikebun dan disawah. Kadang kita tendang-tendang seperti bola. Pohonnya sering kita pakai membuat gasing. Kalau musim gasing, kita sering keliling sawah dan kebun untuk mencari pohon bile yang ukurannya pas untuk membuat gasing. Kita sampai nekad mencuri pohon milik orang yang tumbuh jadi pagar sawah atau kebun orang demi mendapatkan bahan untuk membuat gasing yang bagus. Pohon atau rantingnya bagus jadi bahan membuat gasing karena seratnya bagus dan tidak ada 'hati' seperti pohon yang lain. Di kampung saya Lombok Timur belum pernah saya lihat atau dengar orang memakan buah bile. Tapi didaerah lain di Lomb