http://www.deviantart.com |
Dari mencicipi kue ulang tahun berbentuk masjid setinggi satu meter
sampai cerita Gus Dur hilang.
SUATU hari saya menghadiri acara The Wahid Institute (WI) di Puncak, Bogor. Ternyata itu bertepatan dengan tanggal 4 Agustus 2009 –tanggal kelahiran KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tak lama setelah sampai dilokasi acara, teman-teman dari WI mengajak kami untuk ikut ke Ciganjur. Katanya ada acara #UltahGusDur yang diberlangsung dikediamannya di Ciganjur. Dalam hati saya, ..wah ini kesempatan emas yang tidak banyak orang bisa mendapatkannya. Kapan lagi bertemu Gus Dur secara langsung – dirumahnya lagi.
Kami pun berangkat bersama menggunakan satu mobil dengan para pejabat WI seperti Dr.Rumadi Ahmad (sekarang direktur PP Lakpesdam NU), Subhi Azhari dan Alamsyah M Djafar. Dari NTB saya dan Asrul Rahman, sekarang dosen dan ketua Lakpesdam NU Bima. Ikut juga teman-teman dari Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sesaat sebelum berangkat, saya dan Asrul mengatur strategi. Intinya, momen bertemu dan bersalaman dengan Gus Dur harus diabadi dengan kamera yang kita bawa. Kalau saya bersalaman dengan Gus Dur, Asrul yang bertugas mengambil gambar. Begitu juga sebaleknya. Dengan begitu kita punya foto kenangan bersama Gus Dur – seorang pemikir pembaharu NU, cucu pendiri NU Hadratus Syeikh KH.Hasyim Asy’ari, Ketua PBNU tiga periode dan presiden RI ke-4.
Dari Puncak ke Ciganjur kami sampai setelah Isya. Kami masuk melalui pintu gerbang yang diapit oleh dua bangunan - gedung madrasah dan masjid yang berdiri membelakangi rumah Gus Dur. Saya memperkirakan, dua bangunan itulah yang sering dimanfaatkan oleh keluarga Gus Dur untuk kegiatan-kegiatan pendidikan, sosial dan keagamaan yang dihadairi oleh ratusan umat dari berbagai lintas agama.
Kami masuk melalui pintu tengah. Lampu ruang tamu tidak begitu terang, agak temaram. Ketika masuk kami menemukan sosok tubuh tergeletak didekat pintu. Ia tidur membelakangi beberapa orang tamu yang duduk-duduk mengobrol dipojok kanan menghadap sosok itu. Kami memperkirakan pria yang tidur mengunakan bantal beralas karpet itu salah seorang kerabat Gus Dur yang datang dari luar kota. Mungkin ia kelelahan setelah sekian lama diperjalanan. Di antara yang duduk sekilas saya lihat mantan juru bicara Gus Dur Adhi M Massardi dan Yeni Wahid, putri Gus Dur.
Di ruang tengah kami disambut oleh ibu Sinta Nuriyah. Dengan ramah beliau mempersilahkan rombongan kami masuk. Beliau juga yang memotong langsung kue tar #UltahGusDur yang berbentuk masjid itu dan membagikan kepada kami. “Bapak lagi istirahat” katanya. Walau begitu dalam hati kami tetap berharap Gus Dur akan muncul dihadapan kami sehingga kami berkesempatan bersalaman dengan Gus Dur walau sedetik.
Salah satu buku koleksi favorit saya tentang Gus Dur (gambar : www.tokopedia.com) |
Sambil menikmati kue #UltahGusDur kami pun ngobrol-ngobrol santai dengan beberapa teman, termasuk Hamzah Sahal. Dari obrolan itu terungkap konon versi hari #UltahGusDur tidak itu saja. Konon masih ada versi yang lain dengan tanggal yang berbeda.
Rumah kediaman Gus Dur tidak begitu megah dan luas yang menunjukkan dia sebagai tokoh nasional dan mantan presiden RI. Tanah tempatnya mendirikan bangunan itu rupanya sengaja dibagi dua, bagian depan berdiri masjid dan madrasah serta belakangnya tempat tinggal. Sekeliling tembok ditanami berbagai jenis bunga yang menunjukkan kecintaan pemiliknya terhadap tenaman yang bisa menghasilkan kembang warna-warni itu. Di dalam rumah terdapat harimau, beruang – entah itu binatang sungguhan diawetkan atau boneka binatang sebagai hiasan ruang tamu.
Setelah beberapa saat dirumah Gus Dur menikmati kue #UltahGusDur kami pun beranjak meninggalkan pemilik rumah yang dijuluki Ad Dahil itu oleh almarhum ayahnya KH.Wahid Hasyim. Tentu ada sedikit kecewa karena tidak bisa bertemu dan bersalaman langsung dengan Gus Dur. Tapi mendapatkan kesempatan menghadiri #UltahGusDur pun sudah kebanggaan tersendiri. Itu salah satu momen yang tak terlupakan dalam hidup saya.
Dalam perjalanan balik menuju Puncak terungkap identitas sebenarnya laki-laki yang tidur beralas karpet ruang tamu itu. Ia ternyata bukan kerabat dekat keluarga Abudurrahman Wahid sebagaimana perkiraan kami sebelumnya. Tapi sosok yang tidur dekat pintu masuk itu adalah Gus Dur. Menurut informasi, begitulah kebiasaan Gus Dur tidur sejak dulu. Ia tidak terlalu suka tidur beralaskan kasur empuk. Malah ia suka tidur dimana ia mengantuk.
Salah seorang teman dekat Gus Dur, Ahmad Sobari bercerita dalam bukunya – ketika Gus Dur menginap dirumahnya, Gus Dur tidak mau tidur dikasur yang disediakan. Ia malah tidur telonjor tidur dilantai beralas tikar. Itu rupanya kebiasaan Gus Dur sejak masih dipondok dulu hingga terbawa sampai dewasa.
Dalam hati saya berujar, “Wah kita terkecoh sama Gus Dur. Skenario yang kita persiapkan sebelum jalan semuanya jadi buyar”.
Oh ya, sebelum itu sebenarnya saya sudah pernah bertemu dan berkesempatan menyambut Gus Dur di Hotel Jayakarta, Lombok Barat. Ketika itu Gus Dur menghadiri acara silaturrahmi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan para tuan guru se Lombok. Ketika itu Gus Dur mulai sakit-sakitan. Ketika menuju tempat pertemuan dilantai satu hotel Jayakarta, Gus Dur harus digotong menuruni tangga menggunakan kursi roda. Disanalah saya berkesempatan mendengarkan langsung pidato dan humor-humor segar Gus Dur secara dekat nan jelas.
Artinya walau tidak sempat berjabat tangan dengan Gus Dur, secara fisik saya sudah bertemu beliau sebanyak dua kali - di Hotel Jayakarta dan dirumahnya Ciganjur, Jawa Barat. Kenangan tak terlupakan dengan tokoh dan seorang cendikiawan muslim yang pemikiran gagasannya sering mengguncang serta mengagetkan pikiran banyak orang.
Ketika Gus Dur Hilang
Tidak lengkap cerita tentang Gus Dur kalau tidak disertai cerita unik dan lucu. Dalam perjalanan balek dari Ciganjur saya mendapatkan satu lagi cerita unik tentang Gus Dur. Kejadiannya berlangsung beberapa waktu sebelum acara #UltahGusDur yang kami hadiri itu. Cerita itu disampaikan oleh Ibu Sinta kepada teman-teman dari Wahid Institute malam itu.
Buku kumpulan tulisan Gus Dur paling komplit. Salah satu koleksi favorit saya (www.goodreads.com) |
Sorenya, sekitar jam lima Gus Dur tiba-tiba muncul dari balek pintu sebuah mobil taxi yang berhenti didepan gerbang rumahnya. Begitu tahu Gus Dur, satpam pun dengan sigap memapah Gus Dur masuk kedalam rumah. Setelah sampai dalam rumah Gus Dur baru cerita bahwa ia sudah keliling Jakarta menggunakan taxi. Ia mengaku merasa jenuh berada dirumah terus tanpa melakukan aktivitas apapun. Entah ilmu apa yang dipakai Gus Dur sehingga keluarga dan satpam tidak tahu ia meninggalkan rumah. Jangan-jangan Gus Dur punya ilmu sapu jagad yang membuat mata orang tidak bisa melihatnya pergi meski ia dalam keadaan sakit. Entahlah.
Selama hidupnya Gus Dur memang dikenal sebagai salah satu sosok yang tidak bisa diam. Berbagai acara dan pertemuan ia hadiri dari tingkat lokal sampai internasional. Energinya seolah tidak pernah habis. Yang repot malah istrinya yang mengikuti. Fisiknya yang kerap sakit-sakitan tidak bisa menghentikan aktivitasnya yang terkait dengan kepentingan ummat dan bangsa. Kelamahan dan kekuarangan fisiknya tidak pernah menjadi penghalang baginya untuk terus melahirkan pikiran dan gagasan brilian untuk kebaikan umat dan masa depan bangsanya.
Oh ya sahabat, ternyata itu #UltahGusDur yang sempat kami hadiri itu ternyata #UltahGusDur terakhir secara fisik. Kalau kemudian keluarga, sehabat dan pencinta Gus Dur masih memperingati #UltahGusDur tentu itu untuk mengenang dan mendo’akan Gus Dur. Bagaimana pun juga, harus diakui Gus Dur telah menanam dan meninggalkan banyak benih-benih kebaikan bukan hanya bagi jamaah Nahdlatul Ulama (NU), pesantren dan umat Islam serta agama lain tapi juga ikut membangun pondasi pemikiran bagi bangsa ini.
***
*Lain hari, sebagai lanjutan Insya Allah saya akan menulis pengalaman saya pada hari Gus Dur wafat.
Komentar
Posting Komentar