foto shutterstock |
Kalau silaturrahmi itu diibaratkan sebuah pohon yang bisa
mengahasilkan berbagai macam jenis buah. Kadang berbuah madu, kadang
berbuah bisnis, berbuah kerjasama, pengetahuan baru, pengalalaman bahkan
uang kes. Tak salah kalau silaturrahmi itu disebut ‘pohon ajaib’ yang
bisa menghasilkan berbagai jenis buah yang bisa dinikmati. ‘Buahnya’
bukan saja bisa dinikmati oleh orang yang menanam tapi juga orang yang
tidak ikut menanam.
BEBERAPA waktu lalu saya menemui seorang teman dari Jakarta disebuah hotel di Mataram. Ia datang ke Mataram dalam rangka sebuah kegiatan dengan pemerintah daerah. Biasalah, kalau bertemu dengan teman-teman dari luar daerah pastilah mereka ingin tahu perkembangan daerah. Isu apa yang sedang berkembang dan lain sebagainya. Itu bisa menjadi ‘oleh-oleh pengetahuan’ yang bisa dibawa pulang.
Saya suka pertemuan non formal seperti itu karena dari sana saya dapat menyerap, menggali berbagai informasi dan pengetahuan baru yang selama ini tidak saya ketahui. Tentu bertemu dengan lama ‘atmosfer’nya akan berbeda dibandingkan antara teman yang setiap hari bertemu dengan kita. Karena itu walau agak kurang sehat saat itu, saya menyanggupi untuk bertemu.
Pulang dari bertemu teman itu, saya lalu menemui seorang teman disebuah konflek perumahan. Saya selalu kangen ngobrol berbegai hal dengannya termasuk tentang politik. Saya dengan teman yang tidak perlu saya tulis namanya disini sudah seperti adek kakak. Kita biasa berdiskusi dan mengobrol banyak hal berjam-jam. Saling memberi informasi dan masukan satu sama lain. Pertemuan itu jadi obat kangen setelah beberapa bulan tidak bertemu.
Sekian lama dekat dan berteman dengannya saya belajar banyak hal padanya. Pertama, ia sangat pandai merangkul dan mengkader orang lain. Banyak teman yang berhasil menjadi kader bahkan menjadi pengikut setianya. Dia juga cukup pandai menjalin pertemanan dan mengorgansir banyak orang. Kemampuannya itu menjadi modal berharga baginya untuk meraih mimpinya dalam bidang politik.
Kemampuan yang dimiliki jauh berbeda dengan saya. Saya tidak cakap merangkul dan memelihara orang untuk menjadi teman setia. Saya lebih asyik dengan pikiran dan diri saya. Walau begitu bukan berarti saya abai dengan problem sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Singkatnya, saya kurang suka menonjolkan diri atau mencari pengakuan dari banyak orang.
Kedua, tidak pragmatis. Dengan pengaruh, jaringan dan kewenangannya ia sebenarnya bisa saja meraup banyak kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang bagi dirinya. Pada hal bila melihat teman sebaya dia, termasuk teman-teman dibawah dia sudah cukup nampak secara materi. Walau rezeki setiap orang memang sudah ada yang mengatur – tentu akan kembali juga bagaimana cara mendapatkannya.
Ketiga, ringan memberi. Dia termasuk orang yang bukan golongan orang yang pelit untuk barbagi, bukan saja berupa uang tapi juga hal-hal lain yang berguna bagi orang lain. Berbeda dengan orang lain yang bukan saja agak sulit memberi uang tapi juga seret berbagai informasi. Pada hal kebutuhannya sendiri dan keluarganya tidaklah sedikit. Dengan pengaruh dan network yang dimiliki ia bisa saja memanfaatkan itu untuk menggali untung sebanyak-banyaknya secara financial. Beberapa kali saya memperhatikan, ia tidak menggunakan seperti itu.
foto shutterstock |
Dengan kebiasaannya memberi itu, saya perhatikan sumber rezekinya tidak pernah tersumbat. pada hal saya perhatikan ia tipe orang yang ‘malas’ bekerja yang mengandalkan fisik. Namun selalu saja muncul saluran rezeki baru yang datang kepadanya tanpa melalui proses melamar atau mengajukan diri lazimnya banyaknya dalam mencari pekerjaan. Makanya ijazah baginya bukan prasyarat utama untu mendapatkan pemasukan tapi hanya sebagai bukti bahwa ia telah menyelesaikan pendidikan sarjananya.
Pada pertemuan itu saja, ia tiba-tiba memberi saya madu dua botol. “Minum saja setiap pagi dua sendok” katanya menjelaskan. Ia tahu saya memang sedang tahap pemulihan setelah sekian lama diam dirumah tidak aktivitas diluar. Dirumah itu memang terdapat beberapa botol madu yang dibawa khusus dari kampungnya. Ketika pulang, ia tiba-tiba memberi saya satu lembar uang kertas berwarna merah. Saya mencoba untuk menolaknya karena kangen saja mengobrol dengannya. “Cuman ini ya” katanya lagi.
Di perjalanan pulang saya berpikir tentang pemberian teman tadi. Jangan-jangan itu buah dari silaturrahmi dan sholat dhuha dua rakaat yang saya lakukan sebelum berangkat tadi. Katanya, dua hal itu adalah mahnet dahsyat penarek rezeki dengan cara yang tak disangka-sangka (la yah tasib). Itulah janji Allah dalam kitab suci. Selesai sholat dhuha dua rakaat itu saya memang sempat berdo’a kepada-Nya, “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya hari ini. Sepenuhnya saya pasrahkan takdir saya hari ini kepada-Mu”.
Silaturrahmi yang berkuwalitas tentu bukan mengharapkan pamrih dari orang lain. Silaturrahmi itu bertujuan mempererat persahabatan dan persaudaraan. Buah silaturrahmi itu tidak saja berbentuk uang semata tapi juga berwujud kesehatan, kebahagiaan, jaringan (network) dan lain sebagaianya. Intinya silaturrahmi itu sering menghasilkan buah yang tak disangka-sangka bentuknya. Mungkin itulah cara Tuhan memberikan kejutan (suprize) kepada hambanya.
Istilah silaturrahmi telah dipakai oleh Nokia menjadi jargon produknya, “connecting people”. Hal itu kemudian dikembangkan secara lebih luas oleh perusahaan pengembang media sosial seperti facebook, twitter, whatsap, instagram dan lain sebagainya yang kini hampir dimiliki oleh semua orang. Mereka berhasil memknai silaturrahmi bukan sebatas perintah agama untuk merengguk pahala. Silaturrahmi yang semula secara person – person menjadi silaturrahmi kolektif yang melibatkan ratusan-raibuan orang sekaligus. Mereka sukses menafsir silaturrahmi secara global dalam wujud tehnologi untuk berbagai kepentingan sekaligus seperti ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain.
Kalau silaturrahmi itu diibaratkan sebuah pohon yang bisa mengahasilkan berbagai macam jenis buah. Kadang berbuah madu, kadang berbuah bisnis, berbuah kerjasama, pengetahuan baru, pengalalaman bahkan uang kes. Tak salah kalau silaturrahmi itu disebut ‘pohon ajaib’ yang bisa menghasilkan berbagai jenis buah yang bisa dinikmati. ‘Buahnya’ bukan saja bisa dinikmati oleh orang yang menanam tapi juga orang yang tidak ikut menanam.
Setelah sampai dirumah saya mencicipi madu yang diberikan teman itu. Manisnya madu itu mengajarkan saya betapa manisnya buah silaturrahmi itu. Moga pengalaman itu membuat saya selalu ingat akan makna menjaga silaturrahmi dengan keluarga, sahabat, teman dan sesama manusia lainnya tanpa mengharapkan imbalan material. Kita tentu tidak ingin hal itu merusak makna silaturrahmi kita dengan sesama.
Terima kasih Tuhan sudah mempertemukan dengan teman yang bisa menjadi inspirasi dan pelajaran yang sangat bermakna. []
Komentar
Posting Komentar