BULAN Agustus lalu, sebuah media online Vivanews (25/8) memberitakan, 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia.
Saya kaget, ternyata nama daerah kita, Nusa Tenggara Barat (NTB)
bercokol diurutan ke-6. Peringkat pertama dipegang oleh Papua Barat
dengan angka kemiskinan (36,80) disusul Papua (34,88), Maluku (27,74),
Sulawesi Barat (23,19), Nusa Tenggara Timur (23,03), Nusa Tenggara Barat
(21,55), Aceh (20,98), Bangka Belitung (18,94), Gorontalo (18,70) dan
terakhir Sumatera Selatan (18,30).
Bukan main, peringkat 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia itu diberikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setelah melakukan konsensus penduduk secara nasional per Maret 2010. Hasilnya jumlah orang miskin di Indonesia kini telah mencapai 31,02 juta. Angka 31 juta itu sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Yang aneh, survei itu juga mencatat pengeluaran utama orang miskin sebesar 73,5 persen untuk makan. Tapi kebutuhan untuk rokok filter juga tidak jauh beda dengan pengeluaran untuk makan sebesar 7,93 persen diperkotaan dan 5,9 persen untuk pedesaan. Pada hal merokok tidak memberikan gizi bagi tubuh, sebaliknya malah bisa menumbuhkan berbagai macam penyakit.
Itulah yang membedakan orang miskin dengan orang kaya dalam memandang kesehatan. Untuk itu pekerjaan kedepan yang mendesak, bagaimana pemerintah bekerja keras menekan kemiskinan dan bagaimana merubah pola hidup masyarakat yang tidak sehat menjadi lebih sehat dan produktif.
Membaca hasil survei itu, apa yang ada dalam benak anda? Sekilas daerah ini sedikit lebih baik dari Papua Barat, Papua, Maluku, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur yang sebagian merupakan daerah baru hasil pemekaran. Namun kenapa kita yang sudah lama menjadi propinsi justru kondisi kita tidak lebih baik dari daerah yang baru mekar?. Ini persoalan serius yang harus dijawab kita jawab bersama sampai solusinya ditemukan.
Bagi saya survei BPS itu bisa menjadi ‘raport merah’ bagi kita masyarakat NTB, khususnya bagi pemerintah daerah yang dipercaya oleh rakyat untuk memimpin. Data ini juga harus membuka mata kita lebar-lebar akan kondisi riil daerah ini. Sekaligus menjadi alat ukur dan koreksi bagi duet kepemimpinan TGH.Zainul Majdi, MA-Ir.H Badrul Munir, MM.
Dua tahun kepemimpinan Baru (Bajang-Badrul) belum menunjukkan arah perbaikan yang berarti bagi masyarakat. Duet ini baru mampu menjanjikan perubahan, belum bisa menunjukkan atau membuktikan perubahan. Hal ini juga berimplikasi pada semua terendah, terendah dalam bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Teglin Bersaing (Beriman dan Berdayasaing) juga belum menunjukkan ‘keampuhannya’ untuk membebaskan daerah ini dari predikat daerah tertinggal.
Program unggulan yang dipromosikan pemerintah daerah secara besar-besaran dan dengan dana yang sangat besar tidak mampu menjawab persoalan dasar yang dihadapi oleh daerah ini. Tingginya angka kemiskinan (21,55) bertolak belakang dengan besarnya kekayaan para pejabat didaerah ini. Inilah yang menyebabkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap paket ini menurun.
Lalu kemana 14 ribu orang pengusaha baru yang konon telah dilahirkan oleh kepala Dinas Koprasi dan Usaha Kecil NTB? Kalau faktanya ada, mengapa daerah ini tetap bercokol dalam 10 propinsi termiskin di Indonesia? Sudah saatnya kita rakyat NTB tidak diberikan program dan capaian-capaian indah diatas kertas tapi tidak mampu dibuktikan.
Jangan-jangan benar apa yang dikhawatirkan banyak pihak dengan berbagai program unggulan seperti Bumi Sejuta Sapi (BSS) baru sebatas menjadi Bumi Slogan Saja atau Bumi Sejuta Slogan (BSS) - termasuk program unggulan Sapi, Jagung dan Rumput Laut (PIJAR). Belum memberikan manfaat apa-apa bagi masyarakat. Masyarakat baru mendapatkan istilah dan jargon-jargon baru.
Saya jadi teringat rumus menulis yang dibuat oleh Hernowo, editor eksekutif penerbit Mizan. Ia mengatakan, menulis itu akan mudah dan menyenangkan bila kita memaknai menulis itu sebagai sesuatu yang tidak rumit. Menulis akan mudah dan mengalir bila perasaan jadi senang. Untuk itu ia lalu membuat membuat rumus menulis yang disebut dengan ‘Baru’. ‘Baru’ itu singkatan dari bayangkan, alirkan, rumuskan dan ujudkan.
Demikian juga dengan kepemimpinan NTB saat ini. Mereka baru pada langkah (mem)bayangkan NTB akan seperti ini, itu. Mengalirkan dan merumuskan idenya dalam bentuk program yang menelan dana milyaran rupiah tapi mewujudnya dalam bentuk program yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTB belum mampu.
Kedepan rakyat NTB harus berani melakukan evaluasi publik terhadap kinerja semua kepala daerah yang memimpin di NTB. Evaluasi itu penting sebagai alat kontrol sekaligus koreksi agar mereka serius memikirkan nasib rakyat. Anggota yang diharapkan sebagai lembaga kontrol seringkali ‘berwajah ganda’ ketika menyuarakan persoalan-persoalan publik.
Forum evalusai dua tahun kepemimpinan Baru sebenarnya ide yang cukup bagus tapi sayang pengunjungnya sepi karena pemilihan tempatnya yang tidak tepat. Komponen masyarakat kritis yang bisa memberikan masukan banyak tidak diundang. Akhirnya forum itu menjadi arena curhat dan foto-foto antar pejabat. Cara seperti itu tentu tidak akan mampu menyerap aspirasi masyarakat terhadap praktek pembangunan yang sedang berlangsung saat ini.
Dari dulu nasib daerah ini memang tidak kunjung berubah. Tak heran bila ada orang luar yang memplesetkan sebutan NTB dengan Nasib Tak Berubah, Nasib Tergantung Bali sekarang Nasib Tak Bersaing. Bila begitu, apa sebutan daerah ini perlu diganti dengan nama lain sehingga bisa sembuh dari ‘penyakit’ kronisnya. Bukankan sebagian orang didesa percaya, bila anak kecil sejak lahir terus menerus sakit, namanya digangi karena dianggap tidak cocok nama. Bagaimana pendapat anda?
*Koord.Lingkar Studi Progresif (LSP) Mataram dan Divisi Islam & Civil Society, LenSA NTB
Diterbitkan oleh Harian Umum Lombok Post, Senin, 18 Oktober 2010 www. lombokpost.co.id
Baca : Kemiskinan dan Rayuan Rentenir
Bukan main, peringkat 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia itu diberikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setelah melakukan konsensus penduduk secara nasional per Maret 2010. Hasilnya jumlah orang miskin di Indonesia kini telah mencapai 31,02 juta. Angka 31 juta itu sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Yang aneh, survei itu juga mencatat pengeluaran utama orang miskin sebesar 73,5 persen untuk makan. Tapi kebutuhan untuk rokok filter juga tidak jauh beda dengan pengeluaran untuk makan sebesar 7,93 persen diperkotaan dan 5,9 persen untuk pedesaan. Pada hal merokok tidak memberikan gizi bagi tubuh, sebaliknya malah bisa menumbuhkan berbagai macam penyakit.
Itulah yang membedakan orang miskin dengan orang kaya dalam memandang kesehatan. Untuk itu pekerjaan kedepan yang mendesak, bagaimana pemerintah bekerja keras menekan kemiskinan dan bagaimana merubah pola hidup masyarakat yang tidak sehat menjadi lebih sehat dan produktif.
Membaca hasil survei itu, apa yang ada dalam benak anda? Sekilas daerah ini sedikit lebih baik dari Papua Barat, Papua, Maluku, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur yang sebagian merupakan daerah baru hasil pemekaran. Namun kenapa kita yang sudah lama menjadi propinsi justru kondisi kita tidak lebih baik dari daerah yang baru mekar?. Ini persoalan serius yang harus dijawab kita jawab bersama sampai solusinya ditemukan.
Bagi saya survei BPS itu bisa menjadi ‘raport merah’ bagi kita masyarakat NTB, khususnya bagi pemerintah daerah yang dipercaya oleh rakyat untuk memimpin. Data ini juga harus membuka mata kita lebar-lebar akan kondisi riil daerah ini. Sekaligus menjadi alat ukur dan koreksi bagi duet kepemimpinan TGH.Zainul Majdi, MA-Ir.H Badrul Munir, MM.
Dua tahun kepemimpinan Baru (Bajang-Badrul) belum menunjukkan arah perbaikan yang berarti bagi masyarakat. Duet ini baru mampu menjanjikan perubahan, belum bisa menunjukkan atau membuktikan perubahan. Hal ini juga berimplikasi pada semua terendah, terendah dalam bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Teglin Bersaing (Beriman dan Berdayasaing) juga belum menunjukkan ‘keampuhannya’ untuk membebaskan daerah ini dari predikat daerah tertinggal.
Program unggulan yang dipromosikan pemerintah daerah secara besar-besaran dan dengan dana yang sangat besar tidak mampu menjawab persoalan dasar yang dihadapi oleh daerah ini. Tingginya angka kemiskinan (21,55) bertolak belakang dengan besarnya kekayaan para pejabat didaerah ini. Inilah yang menyebabkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap paket ini menurun.
Lalu kemana 14 ribu orang pengusaha baru yang konon telah dilahirkan oleh kepala Dinas Koprasi dan Usaha Kecil NTB? Kalau faktanya ada, mengapa daerah ini tetap bercokol dalam 10 propinsi termiskin di Indonesia? Sudah saatnya kita rakyat NTB tidak diberikan program dan capaian-capaian indah diatas kertas tapi tidak mampu dibuktikan.
Jangan-jangan benar apa yang dikhawatirkan banyak pihak dengan berbagai program unggulan seperti Bumi Sejuta Sapi (BSS) baru sebatas menjadi Bumi Slogan Saja atau Bumi Sejuta Slogan (BSS) - termasuk program unggulan Sapi, Jagung dan Rumput Laut (PIJAR). Belum memberikan manfaat apa-apa bagi masyarakat. Masyarakat baru mendapatkan istilah dan jargon-jargon baru.
Saya jadi teringat rumus menulis yang dibuat oleh Hernowo, editor eksekutif penerbit Mizan. Ia mengatakan, menulis itu akan mudah dan menyenangkan bila kita memaknai menulis itu sebagai sesuatu yang tidak rumit. Menulis akan mudah dan mengalir bila perasaan jadi senang. Untuk itu ia lalu membuat membuat rumus menulis yang disebut dengan ‘Baru’. ‘Baru’ itu singkatan dari bayangkan, alirkan, rumuskan dan ujudkan.
Demikian juga dengan kepemimpinan NTB saat ini. Mereka baru pada langkah (mem)bayangkan NTB akan seperti ini, itu. Mengalirkan dan merumuskan idenya dalam bentuk program yang menelan dana milyaran rupiah tapi mewujudnya dalam bentuk program yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTB belum mampu.
Kedepan rakyat NTB harus berani melakukan evaluasi publik terhadap kinerja semua kepala daerah yang memimpin di NTB. Evaluasi itu penting sebagai alat kontrol sekaligus koreksi agar mereka serius memikirkan nasib rakyat. Anggota yang diharapkan sebagai lembaga kontrol seringkali ‘berwajah ganda’ ketika menyuarakan persoalan-persoalan publik.
Forum evalusai dua tahun kepemimpinan Baru sebenarnya ide yang cukup bagus tapi sayang pengunjungnya sepi karena pemilihan tempatnya yang tidak tepat. Komponen masyarakat kritis yang bisa memberikan masukan banyak tidak diundang. Akhirnya forum itu menjadi arena curhat dan foto-foto antar pejabat. Cara seperti itu tentu tidak akan mampu menyerap aspirasi masyarakat terhadap praktek pembangunan yang sedang berlangsung saat ini.
Dari dulu nasib daerah ini memang tidak kunjung berubah. Tak heran bila ada orang luar yang memplesetkan sebutan NTB dengan Nasib Tak Berubah, Nasib Tergantung Bali sekarang Nasib Tak Bersaing. Bila begitu, apa sebutan daerah ini perlu diganti dengan nama lain sehingga bisa sembuh dari ‘penyakit’ kronisnya. Bukankan sebagian orang didesa percaya, bila anak kecil sejak lahir terus menerus sakit, namanya digangi karena dianggap tidak cocok nama. Bagaimana pendapat anda?
*Koord.Lingkar Studi Progresif (LSP) Mataram dan Divisi Islam & Civil Society, LenSA NTB
Diterbitkan oleh Harian Umum Lombok Post, Senin, 18 Oktober 2010 www. lombokpost.co.id
Baca : Kemiskinan dan Rayuan Rentenir
Komentar
Posting Komentar