FGD Lakpesdam NU Kota Mataram untuk Menumbuhkan Kewirausahaan Bagi Remaja Putus Sekolah di Mataram |
Sebagaimana kita ketahui, kata jihad berasal dari bahasa Arab, ja-ha-da yang berarti sungguh-sungguh atau usaha keras. Dari kata itu kita mengenal tiga kata yang saling berkaitan –jihad, mujahadah dan ijtihad. Jihad sering salah diartikan bersungguh-sungguh dengan otot sehingga identik dengan perang fisik. Dan orang yang berjihad disebut mujahid.
Mujahadah diartikan bersungguh-sungguh dengan hati. Mujahadah sering dipakai oleh kalangan sufi ketika bermunajat kepada Allah SWT. Istilah lainnya Salik –sang penempuh jalan. Lalu ijtihad dimaknai sebagai upaya bersungguh-sungguh dengan akal pikiran. Dan orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Pengertian ja-ha-da (jihad, mujahadah dan ijtihad) memang bisa dibedakan tapi ketiganya memiliki makna integral, saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Manusia yang bisa memanfaatkan otot, hati dan akalnya secara baik berpeluang menjadi manusia beriman, bertakwa dan ber-Ahlakul Karimah.
“Kita baru saja pulang dari perang kecil dan akan menghadapi perang besar” kata Nabi Muhammad SAW setelah mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Oleh Nabi, Uhud dianggap sebagai perang kecil dan perang besar sesungguh berperang melawan hawa nafsu yang berada pada setiap diri manusia. Ini tentu bukan maksudnya perang fisik tapi memerangi hawa nafsu dalam diri.
Ketidaktahuan sebagian umat Islam akan makna jihad sering dibelokkan dan disalah gunakan untuk kepentingan tertentu yang sebenarnya tidak terkait dengan kepentingan umat Islam. Akibatnya makna jihad pun menjadi ‘pedang bermata dua’. Satu sisi bisa dipakai menjadi senjata untuk melawan musuh Islam satu sisi dapat melukai sesama Muslim yang dianggap menyimpang.
Anehnya kelompok yang dituduh sesat dan kafir malah tetap beriman kepada Nabi Muhammad dan Allah SWTserta selalu beribadah sebagaima disyari’atkan oleh Islam. Untuk itu kita kaum Muslimin tidak ingin terjebak pada pemaknaan jihad yang sempit dan dangkal. Karena pemaknaan jihad sebagai perang tidak menemukan tempatnya ditengah masyarakat Indonesia. Lebih-lebih pemaknaan seperti bukan solusi dan tidak akan menjawab problem utama umat Islam.
Lahan subur melakukan jihad sesungguhnya berada ditengah masyarakat yang masih bergulat dengan berbagai persoalan sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan. Medan jihad seperti kini terdapat dimana-mana termasuk disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
Kemiskinan misalnya telah menjadi problem sistemik ditengah umat. Dengan kemiskinan umat tidak bisa mengakses pendidikan, tidak mampu berobat secara layak. Dengan begitu kuwalitas hidup menurun yang kemudian berdampak pada rendahnya harapan hidup. Jika begitu generasi muslim yang maju dan unggul akan sulit dilahirkan. Daya saing umat Islam pun otomatis menjadi melemah ketika bersaing dengan umat agama lain.
Mujahid Sosial
Untuk menyelamatkan kondisi umat yang miskin dan lemah seperti tidak ada pilihan lain selain mendorong munculnya mujahid-mujahid sosial yang bisa menggerakkan solidaritas dan kepedulian sosial antar sesama Muslim. Selaku penggerak perubahan ia tentu berkepentingan dengan masyarakat untuk selalu berkompetisi, kreatif dan inovatif. Ini tercermin dalam program-program pemberdayaan kepada masyarakat.
Seorang mujahid sosial tidak selalu datang dari golongan masyarakat menengah keatas dan terdidik. Mujahid sosial malah lahir dari golongan masyarakat biasa tanpa menonjolkan identitas tertentu. Tak heran kalau kehadirannya sulit ditandai namun perannya dirasakan masyarakat. Mereka bekerja bukan semata untuk memperoleh imbalan dan pengakuan namun bekerja murni karena panggilan jiwa.
Sosok Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian Tahun 2006 dan pendiri Grameen Bank dari Bangladesh sangat layak disebut sebagai mujahid sosial. Kiprahnya dipuji banyak orang atas ide kreatifnya dalam menciptakan konsep micro finance. Lewat kredit mikro ini Grameen Bank memberikan berbagai pinjaman kepada warga kurang mampu terutama masyarakat miskin.
Lazimnya di Indonesia, orang miskin tidak memiliki akses dan tidak dianggap memiliki kualifikasi untuk bisa meminjam dibank umum. Namun oleh Yunus melalui Grameen Bank, warga sangat miskin bisa memperoleh pinjaman yang umumnya kurang dari US$ 200. Uang pinjaman itu diberikan sebagai modal usaha tanpa perlu jaminan apa pun sebagai syarat.
Semua ide Yunus itu tercetus saat kembali dari studinya di Amerika Serikat pada tahun 1974. Ketika itu ia sangat prihatin melihat rakyat Bangladesh yang dilanda kemiskinan akut. Awalnya ia mencoba meloby berbagai bank konvensional untuk memberikan pinjaman. Sayang upaya ditolak dan dianggap ‘gila’ oleh pegawai bank karena dianggap tidak memiliki jaminan.
Belakangan tindakan ‘gila’ itu terbukti efektif mengentaskan ribuan warga Bangladesh dari gurita kemiskinan termasuk kaum perempuan. Kini Grameen Bank terlah beroperasi di lebih dari 70 ribu desa guna membantu warga miskin Banglades. Dengan 6,6 juta peminjam, sekitar 97 persen di antaranya perempuan.
Kesuksesan Muhammad Yunus bukan hanya membanggakan umat Islam diseluruh dunia tapi juga menginspirasi 100 negara dari Amerika Serikat sampai Uganda di Afrika untuk mengadopsi sistem pinjaman mikro kredit yang dilakuan Grameen Bank. Sejak awal berdirinya Grameen Bank bahkan telah mengucurkan dana lebih dari US$ 5,72 miliar dengan rata-rata pengembalian kredit mencapai 98,85 persen.Dan selaku peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus berhak mendapatkan hadiah sekitar US$ 1,4 juta.
Ditengah masyarakat atau dilingkungan sekitar kita mungkin terdapat mujahid-mujahid sosial dalam berbagai bidang walau dalam skup yang lebih kecil. Selama ia bisa memberikan manfaat kepada orang banyak, maka ia layak disebut mujahid sosial. Kita berharap kedepan akan lahir mujahid-mujahid baru seperti Muhammad Yunus sehingga masyarakat Muslim menjadi muslim yang tangguh dan sejahtera secara ekonomi. Kita berdo’a semoga harapan kita dikabulkan oleh Allah SWT.*
Contoh jihadnya gmn? Ribet, saya tidak faham
BalasHapus