'Diabadikan' dulu sebelum santap siang di Rumah Makan Oemah Cobek, Cakranegara |
Fathul membeli tiga judul buku yang berbeda genre. Buku pertama yang ia ambil dirak buku berjudul “Kepulauan Kangean”. Buku ini merupakan hasil penelitian beberapa orang penulis dari dalam dan luar negeri tentang Pulau Kangean. Buku kedua yang dibeli karya Dr.Suprapto, dosen Fakultas Dakwah IAIN Mataram. Buku ini diberi judul, “Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid”.
Buku baru, buku serius dan ringan menemani makan siang |
Saya masih ingat, Dr. Suprapto sempat hadir diacara fokus group discution (FGD) yang kami adakan bersama teman-teman di Lembaga Studi Kemanuisaan (LenSA). Saat itu agenda kami, memetakan potensi konflik agama di Kota Mataram, khususnya yang berada diwilayah Cakranegara. Kebetulan penduduk yang beragama Hindu lebih banyak bertempat tinggal dikecamatan Cakranegara.
Buku ketiga berjudul “Berjuta Rasanya” karya novelis Tere Liye. Kalau buku yang ketiga ini saya tidak bisa menebak isinya karena memang belum sempat mencicipi apa isinya.
“Koleksi dulu nanti kita baca” alasan Fathul membeli.
Ketika di Gramedia saya tidak membeli buku, walau beberapa judul buku menarek saya untuk membelinya. Saya bukan tidak tergoda untuk membelinya tapi saya memang tidak cukup uang untuk membeli. Saya malah meniatkan beberapa judul buku sebagai target pada kunjungan berikutnya. Kalau nanti ada rezeki, buku itu pasti akan menjadi salah satu koleksi bacaan saya.
Puas melihat dan mencicipi buku-buku, kami keluar. Ditangga Gramedia, Fathul mengajak saya untuk mengunjungi Rumah Makan (RM) Omah Cobek, Cakranegara. Rasanya nama rumah makan itu tidak asing. Namanya cukup saya kenal. Saya sering melewati jalan tempat ruamh makan itu berdiri. Itu pun setelah berkunjung ke Rumah Sakit Risa Sentra Medika.
Omah Cobek berada di depan Hotel Maktal. Nama hotel itu ternyata diambil dari nama jalan tersebut Jalan Maktal. Saya baru tahu hal itu sekarang pada hal sudah terhitung berapa kali saya lewat disana. Rumah makan didesain dua lantai. Lantai dasar pengunjung menikmati makan menggunakan kursi meja. Kalau lantai atas, pengunjung bisa duduk lesehan. Disana disediakan juga internet gratis. Setahu saya, RM Omah Cobek bukan hanya berdiri dijalan Maktal saja, tapi telah berdiri diberbagai tempat di Indonedia. Kalau tidak salah konsepnya berasal dari Jawa Barat.
Mencicipi Es Hula-Hula |
Tak lama ngobrol, pelayan datang membawa nasi dan satu mangkok sayur. Penyajian nasinya beda. Mangkoknya terbut dari cobek tanah. Tidak pakai piring lazimnya rumah makan. Nasi putihnya dibungkus pakai daun pisang. Begitu juga sayur pelecing dan ikan bakar. Bumbu pelecingnya segaja dibuat agak pedas. Rupanya pedasnya disesuaikan dengan selera orang Lombok.
Di daftar menu ternyata nasi yang kami pesan “Nasi Jogang”. Jangan salah baca, jadi nasi jagung. Namanya benar-benar Nasi Jogang. Kita maphum bahasa Sasak, Jogang itu artinya gila. Apa kita yang makan nasi itu tidak gila ? Kalau sampai itu terjadi, bukan hanya orang yang pernah makan yang akan gila, pemiliknya juga pasti akan ikut gila. Emangnya kenapa ? karena banyaknya orang yang akan protes, menggugat dan memperkarakan pemiliknya kejalur hukum. Kalau gitu ceritanya, kan bisa gawat wilayah Cakra dan sekitarnya. Polisi, jaksa dan pengacara juga ikut repot.
Menikmati Nasi Jogang |
Saya tidak tahu apa motivasi pemiliknya memberi nama nasi jogang. Saya hanya bisa menebak-nebak, mungkin asalannya biar pengunjungnya gila untuk terus kembali makan disana. Kalau seperti itu yang untung tentu pemilik dan karyawannya. Selain itu menurut saya, nama itu sengaja digunakan untuk memberi kesan unik dan mudah diingat oleh masyarakat. Itu salah satu trik untuk promosi dari mulut kemulut. Istilah marketingnya word of month.
Saya ingin mengatakan bahwa masing-masing orang tentu memiliki kesan dan pengalaman dan kenangan mendatangi tempat yang baru pertama ia kunjungi. Begitu juga halnya ketika mendatangi sebuah tempat makan. Pelayanan, keramahan, cara penyajian dan jangan lupa masalah rasa akan membawa kesan serta pengalaman yang akan dibawa oleh seorang pengunjung sebuah tempat makan.
Bagi orang berkantong tebal membeli makanan tentu rasa menjadi prioritas nomor satu, harga tidak menjadi masalah. Jauhnya lokasi pun tidak menjadi problem, asalkan selerasanya terpenuhi. Malah bagi sebagian mereka, mencari dan mendapatkannya memberikan sensasi dan pengalaman tersendiri. Beda dengan orang berkantong tipis, perut kenyang yang utama.
Bertemu teman, bicara buku sambil ngopi sudah. Bikin rencana penulisan buku. Mencicipi legitnya buku baru ditoko buku lalu diakhiri makan-makan. Wah rasanya lengkap alias sempurna. Bahasa lainya mengenyangkan lahir batin. Itu lah nikmatnya berteman. Terima kasih Ung. **
Komentar
Posting Komentar