Langsung ke konten utama

Terlanjur Makan Nasi Jogang

Omah Cobek, Es Hula-hula, Nasi Jogang, Cakranegara, Mataram, gramedia, buku, menulis
'Diabadikan' dulu sebelum santap siang di Rumah Makan Oemah Cobek, Cakranegara
Setelah menghabiskan segelas kopi yang disediakan, Fathul mengajak main ketoko buku Gramedia. Tentu saja ajakan itu langsung saya iya kan. Apa lagi sudah lama tidak main ketoko buku milik bos media, Jacob Oetama. Kami keliling melihat buku-buku baru. Karena sudah niat untuk beli buku, Fathul pun mengambil satu tas untuk menampung buku yang akan dibeli. Tas warna hitam bertuliskan Gramedia itu tidak bisa dibawa pulang. Tas itu hanya untuk kepentingan disana.

Fathul membeli tiga judul buku yang berbeda genre. Buku pertama yang ia ambil dirak buku berjudul “Kepulauan Kangean”. Buku ini merupakan hasil penelitian beberapa orang penulis dari dalam dan luar negeri tentang Pulau Kangean. Buku kedua yang dibeli karya Dr.Suprapto, dosen Fakultas Dakwah IAIN Mataram. Buku ini diberi judul, “Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid”.

gramedia, semerbak dula dipulau seribu masjid, dr.suprapto, berjuta rasanya, tere liye, lalu mara satriawangsa, obrolan sersan
Buku baru, buku serius dan ringan menemani makan siang
Membaca judulnya kita bisa tebak bahwa buku ini bicara hubungan Hindu-Islam di Lombok. Dupa adalah alat yang dipakai ritual sembahayagan oleh orang Hindu. Pulau seribu masjid sudah mashur julukan Lombok yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi doktoral Bapak Suprapto di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya masih ingat, Dr. Suprapto sempat hadir diacara fokus group discution (FGD) yang kami adakan bersama teman-teman di Lembaga Studi Kemanuisaan (LenSA). Saat itu agenda kami, memetakan potensi konflik agama di Kota Mataram, khususnya yang berada diwilayah Cakranegara. Kebetulan penduduk yang beragama Hindu lebih banyak bertempat tinggal dikecamatan Cakranegara.

Buku ketiga berjudul “Berjuta Rasanya” karya novelis Tere Liye. Kalau buku yang ketiga ini saya tidak bisa menebak isinya karena memang belum sempat mencicipi apa isinya.

“Koleksi dulu nanti kita baca” alasan Fathul membeli.

Ketika di Gramedia saya tidak membeli buku, walau beberapa judul buku menarek saya untuk membelinya. Saya bukan tidak tergoda untuk membelinya tapi saya memang tidak cukup uang untuk membeli. Saya malah meniatkan beberapa judul buku sebagai target pada kunjungan berikutnya. Kalau nanti ada rezeki, buku itu pasti akan menjadi salah satu koleksi bacaan saya.

Puas melihat dan mencicipi buku-buku, kami keluar. Ditangga Gramedia, Fathul mengajak saya untuk mengunjungi Rumah Makan (RM) Omah Cobek, Cakranegara. Rasanya nama rumah makan itu tidak asing. Namanya cukup saya kenal. Saya sering melewati jalan tempat ruamh makan itu berdiri. Itu pun setelah berkunjung ke Rumah Sakit Risa Sentra Medika.

Omah Cobek berada di depan Hotel Maktal. Nama hotel itu ternyata diambil dari nama jalan tersebut Jalan Maktal. Saya baru tahu hal itu sekarang pada hal sudah terhitung berapa kali saya lewat disana. Rumah makan didesain dua lantai. Lantai dasar pengunjung menikmati makan menggunakan kursi meja. Kalau lantai atas, pengunjung bisa duduk lesehan. Disana disediakan juga internet gratis. Setahu saya, RM Omah Cobek bukan hanya berdiri dijalan Maktal saja, tapi telah berdiri diberbagai tempat di Indonedia. Kalau tidak salah konsepnya berasal dari Jawa Barat.

es hula-hula, segar, es krim
Mencicipi Es Hula-Hula
Sambil menunggu makanan tersaji, kami terlebih dahulu memesan es lebih dahulu. Namanya Es Hula-hula. Namanya saja unik, apa lagi rasanya tidak tambah unik pikir saya. Melihatnya saja kita bisa langsung tergoda. Ditengahnya diletakkan es crim. Ada potongan strawbery, manis campur agak asem. Ah...rasanya segar sekali.

Tak lama ngobrol, pelayan datang membawa nasi dan satu mangkok sayur. Penyajian nasinya beda. Mangkoknya terbut dari cobek tanah. Tidak pakai piring lazimnya rumah makan. Nasi putihnya dibungkus pakai daun pisang. Begitu juga sayur pelecing dan ikan bakar. Bumbu pelecingnya segaja dibuat agak pedas. Rupanya pedasnya disesuaikan dengan selera orang Lombok.

Di daftar menu ternyata nasi yang kami pesan “Nasi Jogang”. Jangan salah baca, jadi nasi jagung. Namanya benar-benar Nasi Jogang. Kita maphum bahasa Sasak, Jogang itu artinya gila. Apa kita yang makan nasi itu tidak gila ? Kalau sampai itu terjadi, bukan hanya orang yang pernah makan yang akan gila, pemiliknya juga pasti akan ikut gila. Emangnya kenapa ? karena banyaknya orang yang akan protes, menggugat dan memperkarakan pemiliknya kejalur hukum. Kalau gitu ceritanya, kan bisa gawat wilayah Cakra dan sekitarnya. Polisi, jaksa dan pengacara juga ikut repot.

nasi jogang, nasi gila, pedes,
Menikmati Nasi Jogang

Saya tidak tahu apa motivasi pemiliknya memberi nama nasi jogang. Saya hanya bisa menebak-nebak, mungkin asalannya biar pengunjungnya gila untuk terus kembali makan disana. Kalau seperti itu yang untung tentu pemilik dan karyawannya. Selain itu menurut saya, nama itu sengaja digunakan untuk memberi kesan unik dan mudah diingat oleh masyarakat. Itu salah satu trik untuk promosi dari mulut kemulut. Istilah marketingnya word of month.

Saya ingin mengatakan bahwa masing-masing orang tentu memiliki kesan dan pengalaman dan kenangan mendatangi tempat yang baru pertama ia kunjungi. Begitu juga halnya ketika mendatangi sebuah tempat makan. Pelayanan, keramahan, cara penyajian dan jangan lupa masalah rasa akan membawa kesan serta pengalaman yang akan dibawa oleh seorang pengunjung sebuah tempat makan.

Bagi orang berkantong tebal membeli makanan tentu rasa menjadi prioritas nomor satu, harga tidak menjadi masalah. Jauhnya lokasi pun tidak menjadi problem, asalkan selerasanya terpenuhi. Malah bagi sebagian mereka, mencari dan mendapatkannya memberikan sensasi dan pengalaman tersendiri. Beda dengan orang berkantong tipis, perut kenyang yang utama.

Bertemu teman, bicara buku sambil ngopi sudah. Bikin rencana penulisan buku. Mencicipi legitnya buku baru ditoko buku lalu diakhiri makan-makan. Wah rasanya lengkap alias sempurna. Bahasa lainya mengenyangkan lahir batin. Itu lah nikmatnya berteman. Terima kasih Ung. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legit dan Gurih Pelemeng Campur Poteng

Pelemeng dan Poteng, pasangan serasi untuk disantap bersamaan dikala silaturrahmi hari Lebaran SETIAP kampung di Lombok punya jajan khas yang dibuat khusus menjelang Hari Raya Idul Fitri. Di Desa Aikmel, Lombok Timur misalnya – beberapa hari menjelang lebaran, kaum ibu sudah sibuk menyiapkan beraneka jenis makanan dan jajan yang akan disajikan pada hari istimewa. Di antara jajan yang selalu ada disebut Pelemeng dan Poteng. Bila datang bersilaturrahmi kewarga - Pelemeng dan Poteng yang terdepan untuk disuguhkan. Pelemeng yang terbuat dari ketan rasanya gurih dan kenyal sedangkan Poteng terasa manis dan berair. Saat dimakan, akan bertemu rasa gurih dan manis dimulut. Dua jenis jajan tradisional masyarakat Sasak ini cukup mengenyangkan kalau dimakan.   Pelemeng terbuat dari ketan yang dibungkus dengan daun pisang. Membuat Pelemeng, daun pisang yang dipakai sengaja dipilih yang ukuran diameternya besar dan panjang. Daun pisang dijemur terlebih dahulu sebelum dibentuk supaya ti

Kejadian Mestakung Yang Saya Alami

Taman Bunga, Sembalun, Lombok Timur Bagi sebagian orang, apa yang saya alami ini mungkin hal biasa. Lumrah terjadi, sering kita alami dan pernah dialami oleh banyak orang. Saking biasanya, kita tidak tahu bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Kita menganggapnya itu kebetulan. Sedang beruntung saja. Pada hal itu bisa dijelaskan secara ilmiah bagaimana Mestakung bekerja. Belakangan saya baru sadar, ternyata banyak kejadian dalam hidup kita bagian dari Mestakung. Beberapa waktu yang lalu saya jatuh sakit sekitar dua bulan lebih. Badan saya lemas, was-was dan tidak konsentrasi. Setelah itu tiba-tiba badan, pinggang, lutut dan pergelangan tangan ikut-ikutan sakit. Sampai ngilu-ngilu. Selera makan jadi tiba-tiba hilang. Beberapa obat tradisional sudah saya coba tapi hasilnya tidak menunjukkan perubahan. Saya pun memutuskan untuk berobat disebuah rumah sakit swasta di Mataram. Siangnya saya minta kepada adek ipar yang bekerja dirumah sakit tersebut untuk mendaftarkan kedokter bagian da

Buah Bile

Penulis bersama seorang teman dengan latar buah bile dihalaman Hotel Mina Tanjung, Lombok Utara. SUDAH lama tidak melihat pohon bile yang berbuah lebat dan besar. Sekarang pohonnya mulai langka, apa lagi yang berbuah besar seperti ini. Bersyukur bisa melihat lagi pohon ini di Mina Tanjung Hotel, KLU. Buah (buaq, Sasak) pohon ini sering kita pakai bermain dulu waktu kecil dikebun dan disawah. Kadang kita tendang-tendang seperti bola. Pohonnya sering kita pakai membuat gasing. Kalau musim gasing, kita sering keliling sawah dan kebun untuk mencari pohon bile yang ukurannya pas untuk membuat gasing. Kita sampai nekad mencuri pohon milik orang yang tumbuh jadi pagar sawah atau kebun orang demi mendapatkan bahan untuk membuat gasing yang bagus. Pohon atau rantingnya bagus jadi bahan membuat gasing karena seratnya bagus dan tidak ada 'hati' seperti pohon yang lain. Di kampung saya Lombok Timur belum pernah saya lihat atau dengar orang memakan buah bile. Tapi didaerah lain di Lomb