Dr.Widodo, Dr.Kari dan penulis ketika disebuah rumah makan di Carkranegara |
“Namanya Kari, orangnya enak diajak bicara. Dia juga bisa bahasa Indonesia” katanya meyakinkan saya via telpon. Saya mengiyakan saja dan bisa ditemui asalkan ada perjanjian bertemu terlebih dahulu. Mengenai waktu dan tempat menyusul.
Tidak ada alasan saya untuk menolak. Apa lagi saya juga sering melakukan wawancara kepada banyak narasumber akan satu masalah yang ingin saya tulis. Selama itu bermanfaat bagi orang, whay not. Lebih-lebih orang yang minta bertemu itu berasal dari belahan bumi yang sangat jauh. Norwegia – bukankah itu udah masuk kawasan Eropa.
Singkat cerita, Dr.Kari Telle, Ph.D - antropolog dan peneliti senior CHR.Michelsen Institute, Bergen Norwegia sengaja datang ke Lombok untuk meneliti ‘orang-orang sesat’. Baginya di Lombok sekarang banyak muncul orang-orang sesat. Lebih tepatnya orang-orang yang disesatkan. Baginya itu sesuatu yang menarek ditengah masyarakat Lombok yang dikenalnya sangat religius dan komunal. Apakah ini tanda-tanda masyarakat yang sudah sangat religius atau sebaleknya ?
Kita mungkin berpikir, apa manfaatnya meneliti orang-orang sesat ? Orang sesat kok diteliti ? Emang kenapa, kalau ada yang tertarek meneliti, masalah buat loh ?
Sebelum menjelaskan manfaat meneliti orang-orang sesat, tidak salah kita mengajukan pertanyaan sebaleknya. Sebenarnya, apa manfaatnya orang-orang itu menyesatkan orang lain ? Sudahkah tindakan itu dikaji secara masak dari berbagai perspektif ? Apa dia akan dianggap sebagai pahlawan kalau menyesatkan orang? Apakah dia sendiri sudah merasa melaksanakan perintah agama secara baik dan sempurna ? Apakah mereka sudah menerima perintah Allah SWT secara langsung melalui Malaikat Jibril untuk memberikan cap sesat kepada orang lain ?
Setahu saya orang tertarek meneliti orang-orang sesat bukan saja ingin mengetahui apanya yang sesat. Lebih dari itu, ia ingin mengetahui siapa yang sesat ? Siapa yang menyesatkan ? Bagaimana mereka disesatkan ? Apa dampaknya bagi mereka yang disesatkan ? Bagaimana kondisi orang yang disesatkan ? Bagaimana pengaruh orang yang disesatkan dan orang yang menyesatkan ? Bagaimana sikap pemerintah (negara) terhadap orang yang disesatkan ?
Hasil pantauan kami di Lembaga Studi Kemanusiaan (LenSA) NTB, sejak 2008 sampai sekarang, muncul 1-3 tiga kasus orang atau kelompok yang disesatkan di NTB. Mereka bukan hanya mengalami diskriminasi tapi juga dikriminalkan karena dianggap monodai agama. Seperti kasus yang dialami oleh seorang kakek berusia puluhan tahun bernama Amaq Bakri yang tinggal disekitar Lereng Rinjani - wilayah Sukamulia, Lombok Timur. Ia divonis satu tahun penjara oleh pengadilan tinggi Selong karena dianggap pernah mengaku sebagai nabi. Hal serupa pernah dialami oleh orang dan kelompok lain di Lombok meski tidak sampai meja pengadilan.
Fenomena orang atau kelompok menyesatkan orang bukan hanya terjadi di Lombok. Hal seperti itu juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Bukan hanya individu (person) yang suka menyesatkan tapi juga oleh lembaga yang dibentuk secara kultural (masyarakat) dan struktural (pemerintah). Anehnya lembaga-lembaga tersebut menjalankan kegiatannya sehari-hari menggunakan dana operasional dari pajak (retribusi) yang disetor masyarakat. Dan masyarakat didalamnya itu juga termasuk orang-orang yang disesatkan itu. Menggunakan dana orang-orang yang disesatkan itu apakah bukan tindakan sesat (salah) dan menyesatkan?
Bagi saya menyesatkan orang itu adalah tindakan luar biasa yang sangat berani. Orang atau lembaga tersebut sudah mengambil alih hak prerogatif Tuhan sebagai pemegang kuasa atas diterima atau tidaknya amal seseorang diatas jagad raya ini. Mereka sudah menjadi Tuhan dibumi bagi orang lain yang lemah dan tidak berdaya. Dan realitanya orang-orang yang disesatkan itu bukan hanya korban tapi juga dikorbankan.
Itu pendapat saya tentang orang-orang yang disesatkan dan orang-orang yang menyesatkan. Saya berharap pembaca bisa membedakan siapa korban dan siapa yang dikorbankan dalam konteks ini. Dan saya rasa anda sangat cerdas membedakan korban dan pengorban –siapa yang patut dibela ?
Baik saya sambung lagi cerita tentang Kari. Ia mengatakan ini bukan pertama kalinya ia ke Lombok. Tahun 1998, selama satu setengah tahun ia pernah live in di Desa Bunjeruk, Lombok Tengah. Disana ia meneliti tradisi dan prosesi masyarakat ketika ada anggota keluarga meniggal. Hasil risetnya ia tuangkan dalam sebuah tulisan dengan judul Feeding the Dead Reformulating Sasak Mortuary Practices dengan kata kunci Death, Food And Prayer. Selama disana Kari bukan hanya menghasilkan tulisan panjang dan mendalam tentang budaya orang Bonjeruk dan budaya orang Sasak secara umum - ia juga mendapatkan banyak kenalan dan sahabat di Bonjeruk.
“Waktu itu saya belum bekerja, jadi saya bisa lama di Lombok. Ingin sebenarnya lama di Lombok tapi tidak bisa” katanya sambil tersenyum.
“Saya sebenarnya juga tertarek meneliti pamswakarsa disini, tapi cakupannya terlalu luas. ketemu narasumbernya juga agak susah” ucapnya sambil sedikit mengangkat kedua bahunya. Meksi sudah cukup mahir berbicara dengan bahasa Indonesia, dialek bulenya tidak bisa hilang.
Saya bertemu dengan dia tiga kali. Dua kali di Lesehan Kemuning bersama teman saya Ahyar Rosyidi. Pertemuan ketiga disebuah warung makan Jawa dikawasan Cakranegara bersama Dr.Widodo Dwiputro, SH.M.Hum -dosen dan aktivis dari Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Kari mengaku sangat puas. Data dan bahan yang dibutuhkan untuk peneliti orang-orang yang disesatkan sangat lengkap. Mulai dari rekaman tertulis sampai video orang yang disesatkan.
Dan saya ingin menutup cerita ini dengan mengatakan, “Kalau kita pernah mewawancarai orang, tunggu waktunya kita akan diwawancarai. Kalau pernah menceritakan seseorang, suatu saat kita akan menjadi bahan cerita oleh orang lain. Itulah siklus hidup seorang pencerita, penulis dan peneliti”.
Komentar
Posting Komentar