Suatu malam saya di-SMS oleh seorang teman. Ia minta ditemani menginap di sebuah hotel di Mataram, NTB. Setelah salat isya saya pun bergegas menemuinya dengan diantar oleh seorang teman. Begitu sampai di hotel, kami bertiga langsung menuju ruang makan.
Usai makan malam, kami mengobrol berbagai hal. Setelah cukup, saya pun mengantar teman yang mengantar tersebut sampai gerbang masuk hotel untuk pulang. “Tumben saya masuk hotel,” katanya spontan. Saya tersenyum mendengar celetukannya. Sebuah ungkapan yang jujur dan polos. “Nanti kapan-kapan saya ajak ente nginep di hotel, ya?” ucap saya kepadanya di halaman lobi hotel.
Di kamar, sambil nonton TV, kami kembali mengobrol ngalor-ngidul. Obrolan tambah seru dengan datangnya seorang teman yang asyik diajak ngobrol berbagai hal, dari masalah perempuan proyek, sampai politik. Pembicaraan kami nyambung terus bak lintasan kereta api.
Tepat tengah malam, disalah satu TV swasta muncul film action Barat yang seru. Sayang saya tidak sempat melihat judulnya, karena katika kami menemukan chenel-nya, filmnya sudah mulai. Bintang utamanya bernama Frank Castle dan tokoh antagonisnya Quentin yang diperankan oleh John Travolta.
Frank adalah seorang anggota FBI. Ketika ia bersama istri, anak, dan ayahnya sedang mengikuti pesta pantai, anak buah Quentin datang menyerbu dan menembak siapa saja yang bereda di tempat itu dengan senjata otomatis. Semua pengunjung di tempat itu tewas. Saat suasana sedang kacau balau, istri dan anaknya berhasil melarikan diri dengan mobil.
Sayang, aksi itu diketahui oleh anak buah Quentin, yang kemudian mengejarnya. Di sebuah dermaga anak dan istri Frank ditabrak hingga tewas. Ayahnya pun mengalami nasib yang sama. Ia mati tertembak di lokasi pesta. Frank sendiri sebenarnya juga berhasil ditangkap dan ditembak di pantai. Namun, nyawanya berhasil diselamatkan oleh seorang lelaki kekar yang sedang mencari ikan di pantai. Setelah sembuh, ia pun menyiapkan diri untuk membalas dendam kepada Quentin dan anak buah.
Bila dalam film-filmnya John Travolta sering bertindak sebagai jagoan, di film ini ia bermain sebagai makelar senjata dan heroin. Uang hasil penjualannya kemudian dicuci untuk menjalankan bisnis yang lain. Maka, untuk mengamankan bisnisnya, Travolta memiliki banyak pengawal yang berbadan kekar dan siap menjalankan semua perintahnya. Ia juga punya istri cantik yang sangat disayangi.
Ketika melaksanakan aksi balas dendamnya, Frank tinggal di sebuah rumah tua yang didiami oleh seorang pria gendut dan kurus. Seorang lagi gadis cantik, tinggi, dan seksi. Awalnya, Frank dianggap pria aneh karena sikapnya tertutup dan pelit bicara. Belakangan, dari berita TV mereka mengetahui, bahwa pria yang tinggal di sebelah mereka itu bukan pria sembarangan.
Lazimnya film Barat, kalau ada hero pasti ada gadis cantik yang suka padanya. Gadis itu bernama Jeane. Berbagai trik dipergunakan Jeane untuk menarik perhatian Frank agar suka kepadanya, tetapi Frank tak ubahnya batu karang yang tidak goyah sedikit pun oleh rayuan ‘ombak’ dari Jeane. Ia memang sudah kehilangan harapan dan optimisme. Tidak ada lagi senyum di bibirnya. Kematian ayah, istri, dan anaknya baginya bukan musibah tetapi kejahatan yang harus dibalas dengan setimpal.
“Aku ikut prihatin dengan musibah yang menimpa keluargamu. Tetapi, berusahalah untuk menatap fajar baru. Aku bisa membantumu melupakan masa lalu itu. Jika terus dipikirkan, masa lalu bisa membunuhmu,” kata Jeane kepada Frank.
Lalu dijawab oleh Frank sambil berlalu, “Masa lalu tidak bisa membunuhku.”
Nalar saya tersentak mendengar kata-kata Jeane itu. Ia seolah menonjok ulu hati saya. Ia menyadarkan saya supaya tidak larut dan terjebak dengan masa lalu.
Ketika film itu saya tonton, saya memang baru saja putus hubungan dengan seorang perempuan yang sangat saya cintai. Di mata saya ia seorang perempuan yang sangat baik, perhatian, dan mudah senyum. Kami berpacaran cukup lama, sekitar lima tahun lebih. Tiba-tiba pada bulan Agustus 2008, ia memutuskan hubungan secara sepihak dan tanpa penjelasan. Meski begitu saya telah berusaha mengorek penjelasan darinya dan keluarganya, tetapi semuanya bungkam. Belakangan saya mendapat informasi, ia kawin dengan pria yang masih ada hubungan keluarga dengannya.
Lima tahun membangun hubungan bukan waktu sebentar. Hubungan itu telah menyisakan banyak memori dan kenangan yang tidak mudah dihapus dari ingatan. Sosok perempuan itu terus hadir dalam benak saya. Ia seolah menyapa dalam kesendirian saya. Akibatnya, saya kehilangan hasrat untuk mengenal perempuan lain. Pada hal saya sadar, jalan telah tertutup. Cintanya tidak mungkin saya raih kembali karena ia telah menjadi milik orang lain. Saat itulah saya merasa benar-benar kalah dalam hidup.
Tetapi menonton film ini, saya seolah didesak untuk bercermin. Bercermin untuk tidak tenggelam dengan pengalaman pahit itu. Film itu seolah menarik saya untuk bangkit merajut cinta dan mimpi saya kembali. Saya tidak boleh larut dengan perasaan negatif. Mengingat masalah itu terus-menerus bisa membunuh masa depan saya. Saya tidak mau kehilangan optimisme menatap hari esok.
Sejak itu saya sadar, ternyata pengalaman masa lalu yang pahit bisa membunuh masa depan kita bila hal itu terus menerus kita ratetapi, kita sesalkan. Rasa kecewa dan frustrasi bukan menuntun kita menemukan jalan keluar, sebaliknya semakin menjerumuskan kita pada kondisi mental yang tidak stabil. Bila sudah demikian, maka daya tahan tubuh kita tidak bisa bekerja maksimal.
Contoh kecil, dua minggu yang lalu tetangga kampung saya mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kamar tidur. Penyebabnya, konon karena ditinggal terus oleh istri pulang ke rumah orang tuanya.
Setelah menonton film itu pandangan saya menjadi terbuka. Bahwa, pikiran dan perasaan kita sendiri bisa menjadi pembunuh dalam selimut. Apalagi bila di otak kita terus berkembang benih-benih pesimisme. Ia bahkan bisa menjadi racun yang dapat pembunuh optimisme. Padahal, optimisme adalah modal meraih masa depan yang lebih baik. Anggap saja masa lalu ibarat sepenggal kisah yang ikut memberi warna dalam hidup kita.
Saya bersyukur film itu telah membantu saya untuk segera mengevaluasi diri agar tidak larut dalam kesedihan. Berusaha keluar dari labirin kekecewaan dan kesedihan.
Berlarut-larut dengan kesedihan bisa membunuh masa depan kita secara perlahan-lahan. Maka, ada baiknya kita segera berdamai dengan masa lalu yang tidak baik. Ini bisa menjadi terapi penyembuhan. Memang tidak mudah, trauma dan ketakutan itu tidak mudah dihilangkan. Namun, di sinilah seninya hidup; bagaiamana kita mampu bernegosiasi dengan masalah, bernegosiasi dengan pengalaman buruk, untuk bangkit meraih masa depan gemilang. Masa lalu dapat membunuh masa depan bila hari ini kita tidak mampu menata pikiran dengan baik guna menyambut perubahan dan tantagan hidup yang lebih besar.
Lalu, haruskah kita mengubur masa lalu yang tidak menyenangkan itu? Atau, menjadikan masa lalu itu sebagai ‘kado istimewa” sebagaimana sering dibagi-bagikan oleh para penulis dan motivator andal dalam berbagai tulisan dan seminar? Menceritakan pengalaman dan kesedihan Anda merupakan salah satu cara keluar dari bayang-bayang masa depan yang suram. Sekali lagi, masa lalu bisa membunuh bila tidak dikelola dengan baik. Maka, waspadalah![yt]
Komentar
Posting Komentar