Bersama Ust.Qamrullah, MH.I, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU NTB dan Dekan Fakultas Syariah IAI Qamarul Huda,
Bagu, Lombok Tengah.
Satu hal yang paling saya suka setelah selesai pengajian setiap Ahad pagi di madrasah HIDAYATUDDARAIN adalah bisa ngobrol santai dengan para tuan guru atau ustazd setelah mengisi pengajian. Setelah semua jamaah pulang, tinggal kami 4-6 orang yang membuka 'obrolan baru' sambil menikmati jamuan ala kadarnya.
Setelah sekian tahun berlangsung, sekian pengajian berlalu, saya berpikir ini lah kesempatan yang tidak bisa dinikmati oleh banyak orang. Walau hari ahad, hari yang disebut hari libur - banyak orang sibuk bekerja mencari rezeki, pergi ke pantai, tempat wisata dan mall untuk mencari penghiburan dan kesenangan. Kesempatan yang sebentar itu justru saat yang tepat untuk menyerap, mengikat, mengisi diri dengan hal-hal baik dan positif.
Kami ngobrol hal-hal biasa, lucu sampai yang serius. Kadang bicara hukum, kisah, pandangan, sikap sang tuan guru terhadap suatu hal yang sedang atau sudah terjadi ditengah masyarakat. Bicara, bertanya dan duduk santai mendengar langsung penjelasan dari tuan guru atau ustazd 'rasa'-nya beda dengan hanya mendengarkan dari jauh.
Tak jarang juga kami bicara tentang keluarga, nasab, keilmuan, guru, pondok dan aktivitas sehari-hari tuan guru. Yang ternyata banyak hal tentang tuan guru yang kami tidak ketahui. Perjuangan, aktivitas, interaksi sosial dan hubungan personal seorang tuan guru tidak sesederhana melihat atau mendengar ia bicara tapi kadang lebih luas dan konflek. Dari situlah sosok manusiawi tergambar.
Tidak semua orang bisa dekat, bisa bicara, bertanya dan bertemu langsung dengan mereka. Itu bukan mereka menjaga jarak atau sebab status sosial yang tinggi. Itu semata karena padatnya jadwal pengajian, undangan, keluarga atau acara dari yang undangan terbatas atau banyak orang. Saya melihat sebagian besar sikap tuan guru itu egaliter karena sosoknya lahir dari tengah masyarakat meski kehadirannya sering dimuliakan dengan tangannya dicium misalnya.
Ada juga karakter dan tradisi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Lombok yang menilai suatu acara kurang afdol kalau tidak dihadiri oleh tuan guru atau ustazd. Bagi saya ini sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh agama, orang berilmu dan berahlak mulia. Penghormatan terhadap guru sekaligus penghormatan terhadap orang berilmu.
Ini lah momen berharga bagi kami bicara langsung dengan para tuan guru yang bukan saja setiap hari siang malam menjadi 'lentera ilmu' bagi masyarakat, tapi juga punya peran-peran sosial, pendidikan, politik penting ditengah masyarakat dan jamaahnya sendiri-sendiri. Para ustazd, para tuan guru itu lah yang pagi, siang,sore dan malam tanpa lelah menghidupkan ilmu.
Saya pernah membuat daftar nama-nama tuan guru yang telah mengisi pengajian Hidayatuddarain sejak 2009, ada sekitar 50-an orang. Ada yang telah mendahului, sebagain besar masih sehat bugar. Semoga mereka diberikan umur panjang dan hidup penuh berkah dunia akhirat. Dari mereka-mereka itu lah, mata air lmu-ilmu agama mengalir mengaliri pikiran dan hati ummat.
Intinya, setiap orang memang sebaiknya harus menciptakan dan menemukan momen berharga dan bermakna dalam hidupnya. Karena kebahagiaan, kebermaknaan dan kemanfaatan itu datang dari dalam diri bukan dari luar. Dari luar itu baik yang sifatnya fisik dan non fisik itu sifatnya sebagai pemancing, stimulus dan sementara. Yang awet dan tahan lama itu adalah kebahagiaan dan kebermaknaan yang tercipta dari dalam diri.
Setiap saat bisa jadi momen berharga dan bermakna mana kala kita bisa memetik pelajaran dan kebaikan dari hal-hal sederhana yang kita alami. Maka pencipta bahagia, hiburan bukan orang lain tapi diri kita sendiri. Bahagia yang lahir dari pikiran lalu merasuk ke hati akan lebih terasa sekaligus bermakna.[]
Komentar
Posting Komentar