Langsung ke konten utama

Postingan

Kisah Dua PNS Muda

Di tengah isu munculnya pemberitaan rekening gendut Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda, saya tiba-tiba ingat dua orang teman yang menjadi PNS. Keduanya masih tergolong muda. Kisaran usia dibawah 35 tahun. Mereka berasal dari kabupaten yang berbeda dan pernah menjadi aktivis mahasiswa. Saya megamati kedua teman ini akan memiliki ‘masa depan’ yang berbeda dibirokrasi dimasa yang akan datang. Ini saya lihat dari cara mereka memposisikan diri sebagai PNS. Teman pertama cendrung pragmatis dan yang kedua cendrung idealis. Dengan demikian bisa ditebak, cara berpikir dan bertindaknya tentu sangat berbeda termasuk pendapatannya. Teman pertama jauh-jauh hari punya planing untuk menduduki posisi tertentu dipemerintahan. Entah bagaimana caranya, itu urusan nanti. Sejak mahasiswa ia sangat aktif menjadi tim sukses. Kegemarannya menjadi tim sukses itu ia geluti sampai sekarang. Walau aturan melarangnya. Ia paham betul, salah satu rumus cepat naik pangkat itu - menjadi tim sukses. Tidak heran

NTB : Nasib Tak Bersaing

BULAN Agustus lalu, sebuah media online Vivanews (25/8) memberitakan, 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia. Saya kaget, ternyata nama daerah kita, Nusa Tenggara Barat (NTB) bercokol diurutan ke-6. Peringkat pertama dipegang oleh Papua Barat dengan angka kemiskinan (36,80) disusul Papua (34,88), Maluku (27,74), Sulawesi Barat (23,19), Nusa Tenggara Timur (23,03), Nusa Tenggara Barat (21,55), Aceh (20,98), Bangka Belitung (18,94), Gorontalo (18,70) dan terakhir Sumatera Selatan (18,30). Bukan main, peringkat 10 Propinsi Paling Miskin di Indonesia itu diberikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setelah melakukan konsensus penduduk secara nasional per Maret 2010. Hasilnya jumlah orang miskin di Indonesia kini telah mencapai 31,02 juta. Angka 31 juta itu sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Yang aneh, survei itu juga mencatat pengeluaran utama orang miskin sebesar 73,5 persen untuk makan. Tapi kebutuhan untuk rokok filter juga ti

Hari Jum’at yang Kami Tunggu

Dulu ketika masih menjadi santri di Pesantren Al-Mujahidin, Bangek Nyaka, Aikmel, hari jum’at adalah hari yang paling kami tunggu. Begitu juga dengan dengan saya dan teman-teman yang lain. Kami selalu berharap, hari jum’at akan datang lebih cepat. Kenapa hari jum’at menjadi hari paling special bagi kami ketika itu ? Pertama, hari jum’at kami libur. Libur dari jadwal mengaji dimusholla. Dari pagi sampai sore kami bebas kemana s aja. Untuk itu sering kali hari itu kami manfaatkan betul untuk mengusir penat dari jadwal mengaji selama satu minggu. Bagi teman-teman yang tidak bersekolah, biasanya mereka pulang kerumah masing-masing untuk menggambil bekal. Kalau tidak pulang, biasanya mereka pergi keluyuran kepasar Aikmel untuk membeli kitab, sabun atau atau kebutuhan sehari-hari dipondok. Bagi yang tidak pulang, mereka akan diantarkan bekal oleh orang tuannya. Jum’at pagi kami juga biasa melakukan gotong royong membersihkan halaman dan lingkungan pondok. Hari itu juga kami

Mimpi Kesejahteraan Pemekaran

PEMICU konflik di daerah ini dari hari kehari terus bertambah. Belum tuntas masalah yang satu, muncul lagi konflik lain. Kalau selama ini mengemuka konflik tanah (agraria), konflik tambang, konflik antarkampung, konflik perbedaan keyakinan keagamaan, konflik Pilkada-Pilkades – sekarang muncul lagi konflik baru yang dipicu oleh pro kontra pemekaran.   Awal bulan ini misalnya, belasan orang mengamuk di kampung saya, Aikmel, Lombok Timur. Dengan membawa senjata tajam, mereka merusak dan mengancam orang yang sedang mempersiapkan kantor desa baru yang akan dibangun dipinggir kampung. Dalam kejadian itu, satu orang mengalami luka-luka. Belakangan kedua kelompok saling lapor kepolisi. Kelompok yang menolak pemekaran melaporkan kelompok yang pro pemekaran bahwa konflik terjadi karena adanya keinginan sebagian elite desa untuk membangun desa baru, yaitu Aikmel Timur. Bagi kelompok ini, konflik akan terus terjadi bila agenda pemekaran diteruskan. Dan kekerasan yang terjadi itu bagi

Pertemuan Leutika Reading Society (LRS) Mataram

Pertemuan perdana Leutika Reading Society (LRS) Mataram berlangsung pada Kamis (19/1) lalu   di Taman Udayana, Kota Mataram, NTB. Anggota yang hadir terdiri dari 8 orang. Sayang tidak semua muncul dalam foto karena mereka terlambat datang. Pada pertemuan berikutnya kami targetkan jumlah anggota yang hadir akan jauh lebih banyak pada saat ini. Dalam pertemuan tersebut, koordinor LRS Mataram, Yusuf Tantowi memperkenalkan apa itu LRS, visi missi dan tujuan dibentuknya. Termasuk bagaimana kiprah penerbit Leutika dan Leutikapro dalam memajukan tradisi membaca dan menulis di Indonesia. Untuk diketahui, para anggota LRS yang hadir merupakan pengurus Lembaga Pers Kampus (LPM) yang berasal dari IAIN Mataram dan universitas Mataram (Unram). Dengan demikian, membaca dan menulis bukan ‘menu baru’ bagi mereka. Sebagian mereka malah sudah menerbitkan buku, baik secara sendiri-sendiri maupun dengan cara patungan. Untuk anggota yang berasal dari IAIN misalnya, sudah berhasil menerbitkan 2 bu

Kemiskinan dan Rayuan Rentenir

Dua hari melakukan Focus Group Discution (FGD) di kelurahan Jempong dan Kelurahan Geguntur, Kecamatan Sekarbela, saya mendapatkan gambaran yang memadai akan kondisi kemiskinan di dua kelurahan tersebut. Dua kelurahan bisa menjadi gambaran betapa masih banyak warga Mataram yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski tidak bisa digeneralisir secara keseluruhan –dua tempat itu cukup menjadi contoh. Sebagian besar warga di kelurahan itu mereka bekerja sebagai nelayan, pedagang ikan, sopir cidomo, tukang dan pembantu rumah tangga. Tak heran pendapatan mereka tidak menentu sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan kondisi seperti itu, hampir pasti mereka tidak mampu berpikir untuk mempersiapkan pendidikan dan kesehatan yang layak untuk putra- putri mereka. Seorang istri nelayan bercerita kepada saya, ia harus menabung berbulan-bulan untuk bisa membeli mesin perahu bekas agar bisa dipakai melaut oleh suaminya. Itu pun ia harus pandai-pandai  menyisi

Mengukur Keberhasilan Puskesmas Gratis

Walikota Mataram Drs.H Ahyar Abduh mengambil kebijakan berbeda dari kepala-kepala daerah lain di NTB. Ia mengeluarkan kebijakan mengratiskan biaya berobat diseluruh Puskesmas yang terdapat di Kota Mataram. K onon kebijakan ini akan mulai berlaku efektif mulai Januari tahun depan. Kabar i ni tentu cukup mengembirakan bagi warga Mataram. Terutama masyarakat yang memiliki penghasilan dibawah standar. Sebelum kebijakan itu diterapkan, ada baiknya kita mulai menengok kembali kondisi yang terjadi di Puskesmas. Saya berharap pemikiran ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan bidang kesehatan. Bukankah ini sektor vital yang sering luput menjadi perhatian publik. Selain tentu sektor pendidikan dan ekonomi. Puskesmas merupakan satu-satunya lembaga publik yang dibangun oleh pemerintah. Di berikan kewenangan penuh menjadi garda paling depan untuk memberikan layanan kesehatan adsar kepada masyarakat. Karena itu, peran dan fungsinya sangat strat

Salafi Kapitalis dan MLM

Perempuan Salafi Menggunakan Produk Kapitalis SENIN (14/22), menjelang magrib saya mampir kerumah sahabat saya, Fadil Adli di BTN Blencong, Gunung Sari –bersama istri. Usai shalat magrib, kami ngobrol ‘kesana kemari’ ditemani teh, kopi, mangga manalagi dan ubi kayu urap yang dikasih gula merah. “Ini kita ambil dari depan Cup”kata Husna, istri Fadil sambil mempersilahkan kami mencicipi hasil pertanian yang ditanam dihalaman depan rumah kontrakan mereka. Seperti biasa, kami bicara ‘kesana-kemari’. Berbagai topik muncul dari pembicaraan 8 pasang mata itu. Mulai dari masalah ibu hamil, kesehatan, perkawinan teman sampai masalah Salafi dan perempuan bercadar. “Di pojok, gang mau masuk, ada orang jualan sayur. Penampilannya salafi tapi kapitalis” cetus Fadil. Saya tertarik, kenapa orang itu disebut salafi kapitalis? Bukankah yang kita tahu pengikut Salafi itu anti dan benci banget dengan yang namanya ‘mahluk’ kapitalis. Termasuk pahamnya yang disebut kapitalisme. M

Mengubah Dunia (Kita) dengan Menulis

JAUH sebelum kita hadir didunia ini, anak-anak muda dari berbagai daerah dari seluruh Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan pandangan demi masa depan Nusantara. Mereka menggagas apa yang kita kenal hari ini dengan “Sumpah Pemuda”. Mereka menamai dirinya dengan nama Jong Java, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Lombok dan jong-jong yang lain. Mereka bersumpah untuk bersatu padu membela Nusantara ini dari penjajah asing. Maka bersyukurlah kita kepada Tuhan, dengan semangat sumpah pemuda itu negeri ini terbebas dari cengkaraman penjajahan asing. Maka mulai hari ini, - sampai kapanpun spirit sumpah pemuda itu mesti terus menyala dan tidak padam. Nyalanya harus terus berkobar agar bisa menerangi kehidupan kita yang masih gelap. Apa lagi kita sebagai mahasiswa, semangat sumpah pemuda itu bisa dimaknai sebagai kemauan yang kuat untuk maju. Kemauan yang sungguh-sungguh berubah menuju keadaan yang lebih baik. Sebagai orang muda, saya sangat percaya membaca-menulis yang baik

Menggaet Wisatawan dengan Novel

UNTUK mengundang wisatawan berkunjung ke NTB, pemerintah daerah telah mengeluarkan ongkos yang tidak kecil. Milyaran rupiah uang rakyat dibelanjakan tiap tahun untuk melakukan promosi dan melakukan berbagai macam event pariwisata. Bagaimana dampaknya, silahkan pembaca yang menilainya. Mengelola industri pariwisata memang tidak mudah. Ini bukan semata karena persaingan di industri ini yang sangat ketat, tapi juga kebutuhan dan selera masyarakat modern akan pelayanan pariwisata juga terus berubah. Apalagi industri pariwisata tidak cukup hanya menjual keindahan alam saja, tapi perlu ditunjang oleh sarana yang memadai, lingkungan yang nyaman sehingga mampu menghadirkan ketenangan bagi wisatawan. Menggaet wisatawan datang ke daerah tidak mesti menggunakan dana besar. Yang dibutuhkan justru cara-cara promosi kreatif. Salah satunya dengan menulis novel yang berkisah tentang daerah tersebut. Pendekatan ini sering tidak terpikirkan dan direncanakan oleh pelaku pariwisata. Padahal di bebe

TGB Makin PD

Bagi saya selalu menarek mengulas dan membincang seorang tokoh. Apakah itu tentang kiprah, pikiran atau pola kepemimpinannya. Bagaimana pun pikiran atau kepemimpinannya seorang sering kali akan berpengaruh kepada masyarakat. Dan membincang tokoh itu bukan gosif yang tidak memiliki makna apa-apa. Hal itu malah sangat positif bagi masyarakat sehingga ia bisa melihat pemimpinnya dari berbagai macam sudut pandang. Demikian pula halnya dengan tuan guru bajang (TGB). Hemat saya yang menonjol dari sosok TGB adalah kepemimpinannya bukan pemikirannya. Karena itu kita jarang mendegar gagasan dan pemikiran progresif TGB tentang satu masalah. Corak pemikirannya tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh lain. Namun sosoknya yang berangkat dari lingkungan darah biru Nahdlatul Wathan (NW), - pimpinan Ormas terbesar di NTB yang terjun kedunia politik –maka sosoknya menarik untuk diulas. Selaku pimpinan umat dan pejabat publik, tuan TGB sudah menjadi ‘teks terbuka’. Ia bisa ditafsirkan oleh siapa saja